Jumat, 30 November 2012

Dunia Tak Memilih Aku

Aku bagai Kuda Liar

aku mencintai dunia ini...

meskipun hadir dengan berbagai warna..

terkadang  hadir misterius,

sepanjang fajar matahari menyapa atau senja mengusap

aku bagai anak ingusan, namun kadang seperti kuda  liar

semua gemeretak tulang tulangku,

bagai gemuruh ombak lautan

aku berusaha mencari tautan pada semua angin

tak berarah, terbungkus debu jaman yang angkuh

bertabir  tipu daya dan angin sejuk segar

yang meniupkan belati mengoyak jantungku

merapatkan tulang igaku

 

aku sudah cukup menjadi anak ingusan,

meski  belum  mampu  menjenguk  arah  angin

atau  dendang  daun palma yang tertusuk  angin kemarau

maka tak seberapa tulang belulangku  mengikuti laju bumi

 

lebih baik aku menjadi kembara

bersama angin yang bertelanjang dari  rame warna warni kekonyol;an

hingga aku bangun dari tidurku

Semarang, 1 Desember  2012

 

Dongen dalam Gerimis Senja

malam ini aku duduk termangu..
menunggu hujan turun lebih deras...
agar satu dua butir air
menerobos rumah papanku
akan aku ajak bercerita tentang dongeng

manusia yang berkerah baju tulus
menyodorkan teh hangat kemanusiaan
menunjukan jalan kodrat,
sebuah titian tak segarang sorot mata manusia durjana..

satu dua dongeng
telah aku tepis, karena bergincu lemunafikan..
hingga matanya yang nanar merobohkan tebing tinggi
menyekap tulang igaku..

Oh dunia, engkaulah sang misterius ?
padahal aku lahir di dunia dengan lembut kain
beludru Ibunda yang halus lembut
Tuhan, dengarkan teriakanku..

Semarang, 1 Desember  2012

 

Sketsa Hidup

berkawan awan..
kadang jingga...sesekali pekat
namun rumput tiada pernah berkeluh
asal bumi masih kokoh ...
berputar menerbangkan sang detik..


sesekali berpeluh...tanpa kesah..
mengayuh hidup di garis kodrat
bercermin pada,
saat Akasia menggugurkan daunya
di tengah kemarau merontang

atau saat burung burung melipat sayapnya
kala tiada lagi butir ilalang menerjang padang gersang..
kita tetap menyemai bunga mawar di sudut hati
untuk Sang Maha Kasih...
agar hidup bergincu seribu makna..

 Semarang, Nov 2012


Sabtu, 24 November 2012

Aku Putra Bangsa

persetan dengan yang ada di Bumi Khatulistiwa
anjing NICA mampu bertekuk lutut, terbungkam  howitzer
dan cocor merah yang melipat sayapnya, terbang menyelinap di awan
mengadu kepada tabir langit, tentang gemetar tubuhnya...
ditelikung bambu runcing rona merona

persetan dengan oknum petinggi berbaju perlente, bergaris eksotis
mengaburkan pandang  “Si Kecil “ mengais hari, berselingkuh nasib
di rumah kardus dengan nasi basi mengganjal perutnya
tanpa upeti dermawan yang menjinjing peduli dan tangan halus
meski legam tenggorokanya tertusuk panasnya nasib
bukan hangus lantaran uang korupsi

persetan dengan itu semua,
aku putra tanah ini, aku menepis jauh jauh  apa yang meluruhkan
sayap sayapku yang mungil
tanpa korupsi, akupun tegak membidik hari hariku
pergilah jauh para koruptor dan penerima upeti
biarkan kau terhempas atmosfer bernafas berang...hingga kau
hinggap di tepian kubangan hitam kelam

jangan kau menyanyikan lagi lagu rindu membiru
yang menggeleparkan tiap nafas si kecil, berbaju kusam
biarkan aku memberikanmu kado persetan bercampur ludahku...
agar kau tertunduk malu dan menyunting hari harimu
di jeruji besi, atau terbanglah ke sisi yang damai
bersama para bidadari penghuni tanah yang nyaman
agar kau tak lagi berkata dusta, karena telah terpotong ludahmu
sendiri......

pernahkah kau sejenak menyusun prosa...?
berisi bait tentang pengemis dan abang becak yang beroda aus
lantaran menggigit jalan jalan kota berlobang yang kau
sayat dengan durjanamu yang kelam dan sumbang...
atau pengemis terkapar di bawah baliho di sudut kota
memeluk perutnya sendiri, yang kosong
perut yang menerbangkan protes jaman , tentang uang negara
yang kau sajikan dalam adonan gula gula hedonisme
aku isaratkan pada tanaman perdu, beluntas dan palma
di halaman rumah bambuku,  disaksikan melati dan kenanga
tentang dengus nafasku  sendiri yang tak berujung,
tentang ini semua, tentang saudara saudaraku yang mengepalkan tangan
untuk sebuah ketidakmengertian,
untuk sebuah gegap gempita yang membuat
terjaganya anak anak kita sendiri dari tidur siangnya...
lantaran aroma mesiu persis kembang api
di malam tahun baru, serta desingan batu batu jalanan
yang kau terbangkan dengan  gelora di hati gemetar tubuhmu sendiri

mentari masih bangkit dari Bumi Papua
hingga terbenam di Serambi Aceh
melewati Pegunungan Kidul yang membelah Pulau Jawa...
Negeri Archipelago tak harus melinangkan air mata
tak harus renggang bergandeng tangan saat penganten baru
duduk di singasana berornamen kembang setaman ***Semarang, November  2012

Lembayung  Sutra
tak  pernah kita berhasrat menepisnya
atau melonggarkan tautan lembayung sutra jingga
bersulam benang emas milik negeri hujan dan gerimis
di sini kita membasuh wajah menjadi putih cemerlang
berhadapan dengan cakrawala, bersemayam  Yang Kuasa

saat ini kita menjadi kusam bergaris kepiluan
tentang petinggi negeri yang bermuka manis
mengayuh perahu berisi emas berlian merobek buih putih
yang hanya bersimbah duka nestapa menuju arah angin
entah ke sisi pantai mana mereka melabuhkan perahu kokoh
kita hanya tersumbat dengan  jalan panjang berkerikil
lantaran mereka telah tumpul mata hatinya...

kita dalam erat bergandeng menggapai hari hari indah..
menyisir pagi dengan rambut sutra, mengusung ubi dan
gula jawa, demi perut kita yang  tak  lagi berdinding kerontang
kita sambut angin musim yang menerbangkan semi hidup
dari lembah dan bukit yang berjajar sepanjang mutumanikam
bukan dengan saling halang membenturkan bahu kita*** Semarang, November  2012

Tak Lagi Ku Terbang  Menggapai Fatamorgana

Setiap sudut kota ini menghardiku kuat kuat
dalam seloroh hidup berkemas manusia manusia laknat
menjulurkan lidah  demi hidup,
berkereta  dengan delapan ekor kuda putih
berbaju dari kain rajutan benang emas, merampas
hutan dan bukit dengan kerlingan mata tajam
menjual sumpah janji yang tersimpan di dadanya
terbang ke langit menggambar fatamorgana

biarkan aku kokoh menggenggam apa yang harus
aku dapatkan dari cucuran peluh dan rapatnya sauh
hingga biduku tak lagi menerjang angan
menuju fatamorgana bersekongkol dengan kaki langit
aku dalam damai.
Semarang, November  2012

Kamis, 22 November 2012

Sihir Tomcat



SENJA sudah mulai menggelapi rumah sederhana, yang berlantai semen dan berdinding setengah bata. Atap rumah sederhana yang  terbuat dari genteng  merah sederhana itu, masih menyimpan hangat terkaman sinar matahari yang seharian penuh tadi mengakrabinya. Angin pancaroba  yang seharian  menerbangkan debu debu dari arah bentangan sawah  di sebelah  mulai lelah, berganti dengan langkahnya yang semilir. Sehingga semua daun pisang di halaman belakang, hanya mampu tertunduk lesu.

Seperti biasa tiap senja menyelinap pekarangan rumahnya,  Sukoco  mulai memutar-mutar lampu neon lusuh 10 Watt di halaman depan agar mampu menyala. Meski sinarnya sudah mulai surut, namun lampu neonya mampu menerangi jalan tanah yang ada di depan rumahnya. Sehingga lubang lubang jalan yang dilindas roda pedati kini dapat terlihat jelas. Terdengar batuk batuk kecil Sukoco menyelinap dinantara kelengangan desanya yang sedang dirundung sebuah kegetiran. Batuknya semakin melengking saat ,  semilir angin senja mulai membalut tubuh Sukoco yang kurus kering itu. Namun lelaki yang menghabiskan seluruh hidupnya di sawah ladang itu, lebih memilih menghangatkan tubuhnya dengan menutup rapat rapat  dengan sarungnya yang  kumal.  

Sukoco segera beranjak dari duduknya, setelah beberapa serangga tomcat beterbangan dan hinggap di dinding  beranda rumahnya, segera dia berkelit kesana kemari, mirip Pendekar Rajawali dalam serial silat mandarin “Return of The Condor Hero” yang mahir memainkan pedangnya. Sarungnya yang tadinya membungkus tubuhnya kini berganti digunakan untuk menyambar setiap tomcat yang terbang di seputar tubuhnya. Rupanya tomcat itu kembali menyatroni rumah papanya dan kini nampaknya semakin bertambah banyak jumlahnya. Rasa kesal Sukoco kembali mengisi seluruh hatinya seperti malam malam sebelumnya. Padahal kemarin malam sudah cukup banyak serangga itu bergelimpangan di lantai semen setiap penjuru rumahnya,  setelah dia semprot dengan obat serangga  sisa dari musim tanam kemarin.

Namun kawanan  tomcat itu tidak menggubrisnya, seakan akan mereka tahu bahwa  Sukoco dan teman-temanya yang mengusik ketentraman hidup mereka, petani desa itulah yang membunuh wereng yang menjadi santapan mereka setiap hari, ditambah dengan bau obat serangga  yang merambah setiap jengkal sawah mereka, yang telah membuat mereka mual perutnya dan memeningkan kepalanya. Bahkan tidak sedikit  teman mereka yang tersungkur menghembuskan nafas.

“Tomcat sialan, ayo maju rasakan sarungku !!!’. Setelah beberapa puluh tomcat bergelimpangan, Sukoco segera kembali siaga dengan kuda-kudanya mirip pendekar
sakti yang menantang musuhnya. Mendengar teriakan Sukoco yang memecahkan keheningan senja di tengah perkampungan petani yang dibelit kesusahan hidup. Beberapa
tetangganya segera merangsek mendekati Sukoco, yang kini mengerahkan semua jurus silatnya dari mulai aliran mandarin hingga jurus Betawi untuk mengalahkan tomcat.

“Pak !, jangan seperti orang gila !, malu dilihat tetangga !!” teriak istrinya yang mengambil langkah seribu keluar rumah setelah mendengar kegaduhan yang dibuat suaminya.

“Biar saja !, biar semua tomcat ini mampus !, aku sudah semprot dengan oabt serangga, tetapi mereka tidak mati !” Sukoco sudah menepikan akal sehatnya, memang dia telah kesal dengan tomcat-tomcat durjana yang nekad menyebar di rumahnya dan sebagian menyerang gabah yang baru saja dipanenya.

“Tapi jangan seperti orang gila !”. Lengkingan Ponirah membentur dinding bambu rumah tetangganya yang berjajar di jalan tanah berlapis batu kali yang berhamburan di atasnya.

“Yang gila aku apa tomcat, Pon ?” teriakan Sukoco dibarengi kedua matanya yang melotot pada Ponirah istrinya.

“Kalau yang gila tomcatnya!, apa kita akan menirunya ?” kembali Ponirah mengajukan protes keras.

“Iya!, kalau perlu !, lihat tuh Pon!. Semua tetangga kita sekarang jadi edan memburu tomcat sialan ini. Jelas ini kemarahan sang penunggu sawah-sawah kita. Sehingga tomcat ini menjadi berani dengan kita “ Kedua kaki Sukoco kini berhenti berjingkrakan yang tadinya mirip Jacko yang asyik menyanyikan lagu “Black and White”. Kini sarungnya dikalungkan ke lehernya, mulutnya mulai berkomat kamit menghujamkan mantra sakti pada kawanan tomcat yang kini masih beterbangan kesana kemari di dalam dan pekarangan rumah papan Sukoco.

“Pak, kamu tambah memalukan. Ingat Pak !, tetangga kita mulai berdatangan menontonmu, Pak ingat,Pak !!!!!”.

“Edan kamu !, tomcat itu tidak sembarangan hewan, tidak seperti biasanya mereka berani dengan kita. Mesti ini karena sihir penunggu sawah kita. Sekarang diam kamu !”

Kerumunan tetangga Sukoco bertambah rapat, beberapa diantaranya juga ikut berkomat
kamit mulutnya, wajah wajah mereka tengadah ke langit hitam. Mereka kini semua berniat mengajukan protes pada siluman siluman di langit sana yang menggembalakan tomcat yang liar dan ganas. Terlebih lebih Sukoco yang merasa menjadi pusat perhatian tetangganya menjadi semakin liar dan tak tahu malu. Seluruh tubuhnya kini mengginggil, dan dari mulutnya terdengar suara melengking.

“Hei, sang penunggu Desa  Gondang Manis!, Hentikan kemarahanmu !, bawa pulang kembali tomcat kamu semua !“ seru Sukoco.

“Sukoco !!!!”, panggil Langgeng Budarjo yang memecahkan konsentrasi Sukoco yang berdiri di tengah kerumunan lengkap dengan pasang aksi yang berhasil menghipnotis tetangganya yang meyakini kekonyolan Sukoco. Laki laki kurus kering itu segera menghentikan mulutnya yang komat-kamit, dan segera menyapu sorot mata tajam pada lelaki tua beruban yang kini berdiri di depanya.

“Ada apa, paman !”

“Kamu sudah edan !” bentak Langgeng Budarjo yang seusia ayah Sukoco.

“Jangan usil dengan niat saya, paman !, ini demi ketentraman desa kita. Lihat paman !, banyak tetangga tetanggaku yang ikut mengusir tomcat dengan caraku !”

“Anak edan !, sampai satu bulanpun kamu berjingkrakan seperti itu tidak akan berhasil mengusir tomcat “

“Maksud paman, bagaimana ?”

“Mereka seperti kita, apabila rumah dan makanan mereka telah terusikpun mereka akan mecari rumah lainnya “

“Tapi mereka telah menggigit tetangga kita ?”

“Mereka tewas ?”

“Tidak ?”

“Berapa tomcat yang kau bunuh ?” bentakan Langgeng Budarjo kian menggema memecah pekatnya malam.
 “Sudah banyak, paman !” jawab Sukoco jujur.

“Itu perlakuan tidak adil namanya !” seru Langgeng.

“Merekakan hanya serangga  !!!! “ Sukoco mulai tersudut dengan

“Mengapa kamu komat kamit dan berteirak teriak menggegerkan kampung, kalau mereka hanya binatang ?”

“Paman !, mereka semua pasti dikerahkan kekuatan gaib yang marah kepada kita. Mereka sepertinya telah bertindak diluar wajar “

“Apa mereka mampu mendengar permintaanmu ?”

“Aku minta kepada sang penunggu desa kita , yang mengerahkan tomcat itu ?”

“Sukoco !, tomcat bukan saja menyerang desa kita. Tapi sudah menyerang ke wilayah lainya di negara kita. Apa sang penunngu itu menyebarkan tomcatnya  ke seluruh wilayah negara kita. Pakailah nalar, Sukoco. Aku juga warga desa sini yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, tapi aku pakai nalar “

“Paman, seperti juga ulat bulu tahun kemarin, mereka juga menyerang desa kita !” sahut Sukoco.

“Mengapa tidak kau pintakan pada sang penunggu desa ini, akhirnya mereka hilang sendiri kan ?”

“Apa salah saya berdoa kalau kita kena musibah ?” tanya Sukoco.

“Kalau berdoa dilarang, jelas menyalahi ajaran leluhur kita. Tapi berdoalah kepada Tuhan Yang Kuasa bukan dengan cara seperti orang kesurupan ?” jawab Langgeng dengan penuh bijaksana. Kini terlihatlah sorot mata Sukoco yang sudah tak seliar tadi.

“Baiklah , paman !. Terserah apa maunya  paman “

“Baiklah Sukoco !, dan semua saudara saudaraku. Serangan Tomcat seperti ini tidak akan bis dihentikan dengan cara apapun. Yang pertama mereka sudah kehilangan banyak wereng yang menjadi makanan mereka, karena obat serangga. Disamping itu juga musim di wilayah kita sudah rusak, sehingga kehidupan merekapun sudah diluar kewajaran
alam. Mereka akan hilang sendiri jika musim kembali normal. Kalian semua jangan tersihir tomcat tomcat ini. Mereka tidak akan menggigit kita, mereka juga bukan hewan berbisa. Jadi tutuplah semua pintu dan jendela rumah kita kalau malam tiba. Matikan lampu sebelah dalam, biarka lampu diluar rumah menyala. Ini bukan kemarahan sang penunggu desa ini “

Kerumunan warga desa itu menjadi bubar, masing masing warga berjalan dengan muka tetunduk. Terlebih lebih Sukoco yang tanpa pamit meninggalkan kerumunan itu dan mengunci pintunya rapat-rapat. Tinggalah Langgeng Budarjo yang termangu di tengah pekarangan rumah Sukoco terpagut dinginya udara malam desa Gondang Manis yang masih hijau lestari. Dalam hatinya kini terselip rasa syukur yang dalam, karena saudara saudaranya tidak terjerumus dalam kepercayaan yang sesat***