Biduk yang Rapuh
“Aku sudah menunggu lama dalam penantianku ini. Semoga Tuhan yang Kuasa masih berkenan memberikan secercah Kemurahan,
agar aku dan Mas Burhan bisa dipertemukan lagi” bisikan hatinya tiada henti
terselip di jauh relung hatinya, bisikan
yang kadang terlontar di mulutnya, menjadi doa tiada
henti, kala Ningrum bersimpuh menengadahkan tanganya demi sebuah harapan yang
menggayutinya selama bertahun tahun. Namun sang waktu adalah sesuatu yang hanya
mampu merangkak tanpa satupun kata hati, terus saja melaju berpadu dengan
putaran bumi menebas relung kehidupan
manusia.
Demikian juga kehidupan Ningrum, seorang wanita desa,
yang hanya mengerti bahasa musim demi semi padi dan palawija yang direntangkan di
atas sawah dan ladangnya yang tiada seberapa luasnya. Sedangkan
Burhan suaminya hanya supir angkutan desa pengangkut sayur hasil panen sayuran milik tetangga sedusunya.
Itupun hanya bisa dilakukan suaminya saat musim hujan tiba. Apabila kemarau menikam
dusunya, semua sawah dan ladang merontang, maka mobil pick- up milik juraganya itu hanya terbujur
di rumah juragan Winata, yang telah lama mempercayakan Burhan sebagai supir pick-
up pocokanya.
Apa yang bisa diharapkan dari sepasang suami muda petani
yang hidup di desa yang hanya mengandalkan perguliran musim, sedangkan
kebutuhan hidup mereka dan 2 anaknya
tidak mengenal musim. Kebutuan untuk
sekolah, makan dan lainya tidak mengenal kerontangnya sawah dan ladang.
Menyandarkan susu perahanpun hasilnya tidak seberapa, bahkan terkadang harganya
anjlok, sedangkan beberapa kambing milik suaminya sudah lama sekali dijual
untuk menyambung hidup mereka. Tidak
lama kemudian beberapa ekor sapi perahanyapun ikut dilipat demi sesuap nasi.
Meski sekali sekali suaminya mencoba menanam sayuran di
ladang peninggalan orang tuanya, namun tetap saja hasilnya tidak seberapa, lantaran
pupuk dan obat anti hama harganya tidak menentu, bahkan sering kali melambung naik. Tetapi harga sayuran tidak
pernah melambung naik. Itupun
dianggap Burhan sebagai berkah daripada sayuranya tidak terjual dan membusuk. Burhan
hanya bisa menggerutu tentang nasibnya yang hanya dipermainkan musim, dipermainkan
oleh tanah yang menghitam karena ulah petani sendiri, bahkan tidak tanggung
tangung rakusnya ulat, belalang, jamur atau wereng yang menerjang tanaman
sayurannya ikut serta mempermainkan bilah hidupnya.
Burhan kini terselip di tengah
kebimbangan yang menghimpitnya. Burhan merasakan kebahagian yang menjadi hak
hidup dirinya, apabila berada di tengah Ningrum dan kedua anaknya yang lagi
imut imutnya. Tetapi tanah tempat lahirnya kini bagi dirinya sudah tidak mampu
lagi menopang hidupnya. Mobil milik
Juragan Winatapun sudah dipocokan kepada keponakanya sendiri yang juga
sering menganggur seperti dirinya. Kini hanya tinggal ladang miliknya seluas seperempat
hektar yang terbujur ditumbuhi ilalang dan belukar. Ladang yang terbujur
dilereng bukit tetapi dibiarkarkan terbengkelai itu, sudah lama diimpikan Burhan untuk digadaikan
ke Juragan Winata dan uang hasil gadai diharapkan Burhan mampu digunakan untuk merantau keJakarta, guna
menundukan roda nasib yang masih menggilas dirinya dan keluarganya. Meski dia
harus meninggalkan Ningrum dan kedua anaknya.
Ningrum sama
sekali tidak setuju dengan angan suaminya, karena mereka sejak lahir sudah membentangkan
hidup bersama di desa lereng Gunung Merapi yang masih mampu menyodorkan sebuah
harapan bagi lengan lengan kecil mereka berdua yang tidak seberapakokohnya.
Tanah yang mereka harapkan dapat mampu menumbuhkan tanaman pnghidupan
sebenarnya masih cukup demi kehidupan mereka yang sederhana dan bersahaja,
bukan untuk hidup yang diangankan Burhan,yang mulai tidak sabar dalam mengais
nasib yang sudah tergambar dalam buku takdir. Apalagi dengan menggadaikan kebun
peninggalan orang tua Burhan yang kini telah menghadap yang Kuasa.
***
“ Aku
tidak setuju mas !,bila kamu menggadaikan tanah kita “ berkali kali sepotong
kalimat itu memenuhi tiap ruangan bilik setengah papan beratap seng rumah
mereka.Namun Burhan tidak pernah memasang kedua telinganya demi sebuah
permintaan isrinya yang keluar jauh dari lubuk hatinya.
“Mengapa
kita tidak mendaftar transmigrasi saja mas !, kan tidak perlu menggadaikan
tanah kebun kita !” Sebuah permintaan Ningrum yang kerap pula diajukan pada
suaminya.
“Aku
tidak mau lagi berurusan dengan tanah dan cangkul !, aku hanya menemukan
kegagalan dan kegagalan dengan tanaman dan kebun !, aku sedikit banyaknya
mengerti mesin mobil yang dapat untuk bekal membuka bengkel di Jakarta. Aku akan mencoba menjadi sopir
angkot atau sopir apa saja, sambil mencari tempat untuk membuka bengkel dengan
modal uang gadai tanah kita “. Pekik Burhan semakin membangunkan rasa was was
di hati istrinya, yang lebih mampu menggunakan nalarnya ketimbang Burhan, yang
memiliki tabiat mudah larut dengan anganya sendiri. Meski kegagalan demi
kegagalan sering ia dapatkan, namun tak sedikitpun kegetiran hatinya mampu mendewasakanya.
Sedangkan
Ningrum telah hafal betul dengan tabiat suaminya yang kerap melangkah gegabah
tanpa pertimbangan yang masak.Ningrumpun tahu persisi bahwa suaminya hanya
terbuai cerita manis teman teman sekampungnya yang dinilainya sudah berhasil. Padaha
menurut Ningrum, kehidupan mereka berdua di desa tidak kalah menjanjikan
ketimbang mereka yang merantau ke Jakarta, asalkan mereka berdua mampu
bersabar, hemat dan tabah menghadapi semua tabiat musim. Rupanya hal itu sama
sekali tidak digubris oleh suaminya. Padahal untuk mengusung kehidupan di desa
mereka yang tidak banyak menyelipkan persaingan yang tajam dan ganas, Burhan
sudah tidak mampu sabar dan tabah, apalagi untuk mengais kehidupan di Jakarta
yang penuh tantangan.liar, ganas dan tidak segan segan manusia memakan manusia
lainnya.
Apabila
Ningrum yang tak surut mencoba memberi gambaran tentang rencana Burhan untuk
meninggalkan kehidupan di desa mereka, sepasang sorot mata yang ganas nanar
dari suaminya selalu Ningrum jumpai. Ningrum hanya menjumpai angan suaminya layaknya
seorang bocah yang meratapi sebuah mainan yang ingin dimilikinya. Padahal meski
Ningrum berusia jauh di bawah Burhan,
tetapi sebenarnya permintaan Ningrum jauh lebih realistis ketimbang
Burhan.
Ningrum kini hanya mampu diam membisu dan membiarkan
suaminya menggadaikan kebunnya dengan harga yang murah. Meski demikian dalam
lubuk hati wanita desa yang hanya berijasah SMP itu, masih terselip suatu
harapan semoga saja tanah simpanan hidup
mereka berdua tidak ikut menjadi korban angan gelap mata suaminya dengan
menjual kepada sang juragan dan tuan tanah di desanya. Kekhawatiran Ningrum pada masalah ini bukan
tanpa alasan, karena tanah mereka telah dijadikan harapan terakhirnya bagi
Burhan untuk menyambung hidup mereka bila di Jakarta kelak dia menemukan
kegagalan.
Beruntung Burhan memiliki istri Ningrum yang sudah sejak
lahir didera penderitaan hidup, sehingga apapun cobaan yang dijumpai mereka
berdua sebagai keluarga yang belum kuat berpilar tak membuat ciut nyalinya
Ningrum. Kasih dan cintanya kepada suami dan kedua anaknya tidak sedikitpun surut. Meski angan dan cita
citanya untuk memiliki sebuah keluarga yang cukup terhempas kandas diterkam
nasib yang belum menentu, bagaikan biduk kayu yang rapuh harus berjuang
mengayuh hidup di tengah samudra dengan layar yang koyak. Biduk itupun kini
bertambah tak berarah setelah Burhan tetap mematangkan niatnya untuk menundukan
Jakarta, yang menurut Ningrum sama seperti menggapai kehidupan yang pengap
bagaikan keranjang sampah yang busuk dan menjijikan.
***
Apa yang
dibayangkan Ningrum beberapa tahun silam kini telah menjadi realita.Jangankan
kepindahan dia dan dua anaknya ke Jakarta untukmeyelipkan sebuah kebahagiaan
yang disodorkan Burhan,selembar suratpun belum pernah dia dapatkan setelah 3 tahun terakhir. Pada
awalnya Burhan memang kerap pulang dengan wajah yang kumal dan kusut, suatu
isarat bahwa kehidupanya di Jakarta belumlah sesuai dengan apa yang diimpikan
Burhan. Berkali kali pula Ningrum memintanya dia kembali saja ke desa mereka,
tanpa terbuai impian tentang Jakarta, meski harus menjual tanah mereka ke
Juragan Winata. Namun Burhan tetap bersikeras untuk kembali menggapai anganya
di Jakarta.
Ningrum
tahu persis bahwa suaminya di Jakarta 3 tahun belakangan ini sudah tak memiliki
apa apa lagi. Hanya linangan air matanya yang menetes setiap malam setelah
kedua anaknya tertidur yang menjadi saksi doanya semoga suaminya tidak tidur di
kolong jembatan.Ningrum masih yakin betul, bahwa suaminya masih menyintai dia
dan kedua anaknya, hanya saja suaminya mungkin malu untuk menunjukan pada
dirinya akan kehidupanya yang compang camping di Jakarta. Ningrumpun masih
memiliki angan untuk segera menjual tanah suaminya bila dia kembali ke desanya
untuk modal berjualan apa saja demi membahagiakan suami dan anak anaknya, dia
kini telah siap untuk membanting tulang seperti yang pernah dilakukan saat dia
masih hidup bersama dengan emak dan bapaknya, yang hidup hanya menyandarkan
kedua bahunya. Namun hal rencana itu hanya menemui ruang hampa, lantaran sudah
beberapa tahun ini kabar tentang suaminya belum juga dia dapatnya.
Perasaan
rindu mendalam dan rasa khawatir kini berkecamuk dalam dadanya, apalagi bila
mendengar rintihan kedua bocahnya yang menanyakan tentang bapaknya, yang pernah
menjanjikan membelikan mereka mainan dan baju baru. Rintihan mereka dan tangis
yang berkecamuk dalam rongga dada Ningrum hanya mampu tanaman kunir, sayuran
dan kolonjono di halaman rumah mereka yang diam membisu.
Bulan
Desember kini hadir di tengah berada di sekeliling keluarga yang merana itu.
Semilir angin penghujan mulai menggigit tulang tulang mereka. Kabut musim hujan
selalu menyelimuti bilik sederhana kamar tidurnya. Dinginya malam itu semakin
menyayat hati Ningrum yang menerbangkan anganya pada Burhan yang mugkin saja
sedang tidur di kolong jembatan atau di tepi jalanan atau mungkin saja tidur di
pelukan wanita lain.”Oh tidak, tidak mungkin Mas Burhan seperti itu, tidak
mungkin Mas Burhan menjual cinta murahnya” bisik hatinya sering memenuhi
jantung hatinya bila malam tiba.
Ningrum
segera menuju ruang depan yang beralas semen yang sudah banyak mengelupas,
setelah mendengar pintu ruang depan diketuk berkali kali oleh seseorang.
“Oh Pak Surip,
ada apa malam malam membangunkanku ?”.
“Oh maaf
Ningrum !,aku terpaksa membangunkan
kamu, karena aku harus mengantarkan Burhan yang tadi entah mengapa roboh di
serambi balai desa “
“Mas
Burhan !” Ningrum berteriak setelah melihat suaminya yang kurus kering dengan
wajah pucat dan selembar pakaian yang compang camping.
Dipapahnya
tubuh kurus kering yang lunglai untuk direbahkan di kursi kayu lusuh di ruang
depan. Pipi Ningrum kini dibasahi air mata yang tidak mampu dibendungnya,meski
kegetiran hidup wanita desa ini telah menggayuti seluruh hidupnya.
“Mengapa,Mas
Burhan !”
“Maaf ya
Ning !,aku beberapa tahun tidak mengabarimu,karena aku tidur di gerbong kereta
,aku tak memiliki apa apa lagi, aku malu untuk pulang dalam keadaan begini,
hingga aku sakit dan terpaksa ikut truk dari Jakarta ke Boyolali. Ningrum ,
maafkan aku ya !”. Dipeluknya tubuh suaminya yang menggigil kedinginan, tanpa
sepotong katapun untuk menjawab permintaan maaf suaminya. Karena jauh sebelum
kepulangan suaminya Ningrum telah memaafkan semuanya. Dalam hati Ningrum tetap
terselip penghidupan baru yang siap dia usung demi membahagiakan suami dan
kedua anaknya. Layar yang terpasang di biduk yang kecil kini mulai kokoh
menjulang ke atas siap mencumbu angin laut kemanapun arahnya***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar