Tanggal 25
Oktober 1945, sebanyak 6000 The Fighting Cock yang ganas dan ditakuti bala
tentara Dai Nippon telah
merapat si Pelabuhan Tanjung Perak. Mereka
adalah AFNEI yang tergabung
dalam Brigedir 49, Divisi 23 di bawah
pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin
Mallaby. Pagi itu sang jenderal tersenyum cerah, secerah udara Surabaya
yang mengusung nyanyian pagi di tengah alam Kota Surabaya yang masih hijau dan
alami.
Bersama sama
dengan Kolonel Pugh, Kapten Smith,
Mayor Gopal dan Kapten Shaw yang merupakan bawahan sekaligus sahabat
setianya, sang jenderal berjalan-jalan
menyelusuri jalan tanah yang tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Perak. Inilah
Surabaya yang hanya dikawal “inlander ingusan” dengan milisi-milisi hanya bersenjata bilah bambu
dan parang. Dalam tiga hari pasti kota ini akan aku rengkuh dengan mudahnya,
demikian bisik hati sang jenderal.
Angin kemarau
masih menyisakan tiupanya yang kering, meski sekali sekali Kota Surabaya di
guyur gerimis. Seakan akan semilir angin kemarau itu berniat menyampaikan pesan
kepada semua insan yang sedang didera revolusi dalam kemasan nasionalisme yang
tersemat mulia kala itu. Bahwa sematan The Fighting Cock yang berpengalaman
lima tahun di hutan Birma dengan persenjataan modern kala itupun tidak akan mampu melawan sebuah nasionalisme
yang memuncak hingga sampai ubun-ubun semua anak bangsa.
Pesan angin kemarau
tersebut telah jelas sudah, ketika Kapten Huijer dari Angkatan Laut
Belanda menyambangi Surabaya sebagai
wakil sekutu untuk mengadakan perundingan dengan Laksamana Madya Yaichiro Shibata, pimpinan
tertinggi pasukan Jepang di Surabaya. Maksud kedatangan kapten Belanda itu
tidak lain hanya untuk menghindari agar persenjataan tentara Dai Nippon tidak
jatuh ke tangan anak anak bangsa pengawal Ibu Pertiwi. Beruntunglah Kaigun
Shibata dan Kaigun Maeda telah paham dengan keluhuran patriotisme demi bangsa
dan Negara. Maka petinggi militer
tersebut lebih memilih menyerahkan senjata kepada Komite Nasional Indonesia.
Ketimbang kepada Kapten Huijer sang NICA, yang masih berambisi untuk merenggut
kembali kehormatan Ibu Pertiwi.
Kegeraman hati
pemuda muncul di mana mana, mereka tidak mau lagi meski hanya sepenggal tanah
dan segelas air diserahkan kembali kepada NICA yang sangat rakus dan tak tahu
malu. Dimana mana TKR dan milisi pemuda pembela tanah air bersiaga penuh untuk
menerjang apapun yang akan menyentuh harga diri Bumi Nusantara. Teriakan
merdeka, kain merah putih di ujung bambu runcing dan semangat membara menuhi
semua sudut Kota Surabaya.
Dengan
merapatnya NICA yang berganti baju ANFEI di pelabuhan Tanjung Perak pertanda
akan ada pesta mesiu, hujan mortir dan pesta bom yang dimuntahkan dari 37 Howitser, puluhan tank Sherman, HMS Sussex dibantu 4 kapal perang
destroyer, 12 kapal terbang
jenis Mosquito. Pertanda pula merah darah yang membungkus putih tulang akan
membahana di buaian Ibu Pertiwi.
Sutanto pemuda
Surabaya dari Gubeng Pemipin Laskar BPRI Surabaya Timur telah sibuk merajut
hati yang berenda api revolusi. Lantaran denyut jantung yang menguat adalah
denyut sebuah harga diri yang harus digenggam dengan kokoh. Maka di awal
Nopember 1945 diapun sibuk mengumpulkan anak buahnya serta rekan seperjuangan Surabaya
Timur dari pemuda TKR, BPRI, BPI dan lain sebagainya, untuk berserentak
membungkam Howitser, Sherman, Water Mantel
dan lain sebagainya. Dari
dusun dan desa satu ke lainnya yang
ia dapatkan hanya sorot mata nanar dari pemuda pemuda asuhan Ibu Pertiwi yang
siap membawa NICA dan ANFEI ke lembah neraka. Termasuk juga Nuraeni dari Laskar
Tentara Pelajar Gubeng.
Sejenak
diluruhkan bara api revolusi yang ada di hatinya, kala dia sudah berada di rumah Nuraeni. Sebuah rumah yang hanya
terbuat dari papan kayu, dengan lantai tanah dan tak seberapa luasnya. Gadis
manis namun murah senyum dan matang itu sekarang telah berada di depanya dengan
wajah tersipu malu, namun masih menyelipkan rasa kagum terhadap Sutanto yang
telah lama hadir di hatinya. Lembutnya benang sutra tiada mampu menceritakan
kelembutan cinta antara mereka. Bahkan temaramnya sinar rembulan tiada seberapa
di banding kesyahduan dua remaja yang saling melukis warna langit
“Kita akan maju
kelaga lagi, dan perjuangan kita semua bakal menghadapi tantangan yang berat.
Lantaran Mayor Jenderal Mansergh
pengganti Brigadir Jenderal Aubertin
Mallaby yang tewas, bakal menghabiskan amunisinya untuk membalas dendam
kematian jenderal yang malang itu” seru pejuang itu dengan suara datar dan
dalam. Sementara itu pujaan hatinya hanya duduk tersipu dan rona merah pipinya
kini mulai nampak.
“Lantas kita
harus bagaimana ?. Bila keadaan sudah seperti ini!”. Nuraeni hanya mampu curi
curi pandang pada pemuda berkumis tipis dan berbadan tegap itu. Pantas saja
semua pemuda di daerah Gubeng memilihnya sebagai Komandan Laskar BPRI.
“Kita semua
telah menolak ultimatum Letnan Jenderal Christinson, komandan
Pasukan Sekutu di Indonesia berdasarkan kesepakatan semua laskar, yang
rencananya mau dibacakan habis maghrib nanti”
“Jadi besok kita
akan dihanguskan oleh The Fighting
Cock, Mas ?”
“The Fighting Cock hanya tinggal nama
saja. Kemarin ayam aduan itu telah melempar bendera putih, tak lebihnya hanya
ayam sayur saja yang takut mati. Untung Pak Karno segera menghentikan semangat
kita. Awalnya mereka membanggakan panji The
Fighting Cock kemudian dengan semena mena menguasi Morokrembangan,
Stasiun Pasar Turi, kantor telepon dan kantor pemeritah lainnya”
“Tapi besok kan
mereka mereka dibantu dengan tentara Inggris dari Jakarta”
“Betul dan
mereka sudah mulai berdatangan, tadi Sudarno melaporkan, bahwa di Surabaya Kota
mulai terjadi konvoy Sherman dan
Howitser. Jadi besok mulai jam 6 pagi, aku dan teman teman harus
berjuang membungkam mereka satu per satu”
“Aku juga tadi
diajak PMI untuk membantu pasukanmu, Mas ?”
“Apa !, siapa
yang nyuruh kamu ?, kedatanganku kemari untuk menyuruhmu cepat cepat mengungsi ke
Sidoarjo bersama emakmu. Kasihan dia, kau adalah anak satu satunya, kamu adalah
segalanya bagi emakmu setelah Bapakmu meninggal tahun lalu. Nur !, memang
perjuangan adalah pengorbanan. Tapi bila kau adalah milik satu satunya sebuah
keluarga, maka kamu boleh meninggalkan perjuangan ini”
“Aku hanya di garis belakang, Mas. Paling aku akan
bermarkas di pos PMI di sekitar Stasiun Gubeng . Jangan kuatir, Mas ?”
“Nur, besok jam
enam pagi Surabaya membara. Bombandir sekutu datang dari kapal, pesawat udara
dan canon. Setiap rakyat yang masih berada di dalam Kota Surabaya
harus hati-hati. Terlalu gegabah bila kau tidak meninggalkan kota. Kalau perlu
berangkatlah sekarang, biar aku antar”
“Emak sudah
berangkat mengungsi, Mas !. Tadi pagi bersama ibu ibu tetangga”
“Kenapa kamu
nggak ikut sekalian?”
“Aku berjanji
sama emak nanti aku akan menyusul menungsi”
“Lantas, gimana
kamu bisa ketemu emakmu nanti ?”
“Emak mengungsi
tidak jauh dari sini, emak kerumah bude di Wonokromo”
Matahari telah
mulai merapat di pelabuhan cakrawala barat, hari telah sore. Semilir angin
kemarau bertambah kencang, Suara Bung Tomo semakin terdengar menggelora terbawa
angin ke tiap penjuru kota, bahkan hingga ke Pulau Madura, Sidoarjo dan Gresik.
Pohon pohon yang merindangi jalan jalan yang melintang di Surabaya terbujur
dingin. Seakan akan tahu bahwa sebentar lagi, harga sebuah nyawa sama sekali
tiada artinya. Namun sudah menjadi wasiat alam semesta bahwa setiap kemerdekaan
suatu bangsa yang direnggut dari nafsu penjajah, harus ditebus dengan apapun
yang kita miliki.
Nuraeni tidak
beranjak dari rumahnya, dia tetap bersikeras gabung dengan teman temanya.
Sutantopun hanya bisa mengangkat ke dua bahunya. Namun dalam hatinya terbesit
kekhawatiran yang mendalam tentang samudra pesonanya. Dia telah terlanjur melontarkan
sebuah janji akan menikahi Nuraeni segera setelah Surabaya menjadi aman.
Sebuah rumah
mungil dan sederhana dia janjikan untuk ditempati mereka berdua dan anak anak
yang mungil manis manja. Sebuah rumah yang berhalaman kebun bunga dan berpagar
kembang sepatu.
Sekutu mulai
menyemai bom layaknya pak tani menyemai padi di sawah yang basah. Setiap
jengkal tanah Surabaya mendapat jatah asap mesiu. Bahu membahu pemuda Surabaya
menundukan satu demi satu tank dan meriam The Fighting Cock yang menggila.
Sutanto tetap saja maju menerjang bersama ribuan pemuda berani mati dari
Surabaya untuk menebas Gurkha dan
ANFEI serta NICA. Sementara Nuraeni di Gubeng berlarian kesana sini memungut
pejuang yang terluka dan diberi obat ala kadarnya. Sesekali diapun bertemu
dengan Gurkha dan tentara sekutu lainnya, dia hanya mampu berlari menjauh
bersama sama anggota PMI lainnya.
Nuraeni dan
Laskar PMI bermarkas di Gedung Handayani dekat Stasiun Gubeng.Di tempat itulah
pejuang yang terluka diobati dan dirawat sementara. Namun entah karena hati
yang kalap berselimut dendam yang membara dari tentara sekutu, Gedung Handayani
beserta penghuninyapun menjadi sasaran pelampiasan mereka. Berkali kali
tembakan meriam dari Sherman melahap gedung itu hingga rata dan tak lagi
terdengar rintihan penghuninya yang terluka. Nuraeni besama sejuta sayap
malaikat kini terbang menembus batas langit untuk bersemayam di negeri yang
tidak ada lagi rasa dengki, mengumbar amarah. Sesekali melalui jendela langit
diapun memperhatikan pria pujaan hatinya yang sedang berjuang menegakan
keadilan.
Kabar hancurnya
Markas PMI kini terdengar di telinga Sutanto. Saat saat yang paling
dikhawatirkan kini dating juga. Rasa tidak percaya kini menyelimuti hatinya.
Cakrawala di depan matanya kini
telah terbenam dalam baying hitam. Hingga kini lunglailah tubuhnya di depan
Markas PMI Gubeng yang rata dengan tanah. Hingga akhirnya sebuah peluru dari
tentara sekutu menembus dadanya. Gelaplah semua yang ada di sekitarnya, hanya
terlihat Nuraeni menyodorkan kedua tangannya untuk menyambut buah hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar