Kala sang dewa membasuh wajahnya dari air sejuk pancuran sorga,
mengalirlah air kehidupan , sebening embun
yang menepikan birama tanah retak,
dari cengkeraman kemarau panjang.
Wajah sang dewapun kini menjadi cermin dari sekumpulan,
bunga bunga yang memegari halaman rumah ...
yang berjejer dari “Andalas, Borneo hinggga Tanah Papua”.
Saat itu teduh telah memenuhi langit biru,
meski “iri dan dengki”
dari Negeri Sinderella lama mengintip
dan mengokohkan jerat di Samudra Hindia, agar karang-
karang kokoh
menjadi rapuh, serapuh kedurjanaan mereka.
Kawanan burung camar menjadi saksi
merapatnya kapal
kapal VOC yang bengis dan serakah,
menebas bunga bunga sorga dan memasangkan pada
sisi
lambung kapal kapal mereka yang pongah
bunga
sorgapun terpingit dalam halimun kelam
Lengan lengan rapuh,
tak kuasa menyeka
air mata Ibu Pertiwi dan saat itu bertebaran memenuhi
sawah ladang yang
terinjak sepatu laras tuan tuan tanah,
yang menyeringai dari buritan kapal.
Namun busur waktu telah melontarkan detik demi detik
hingga lengan
lengan itupun perlahan menjadi tangkas
untuk memikul senapan dan menggenggam bara.
Untuk menghardik mereka semua kembali ke Istana
Sinderalla.
Jangan kau remehkan
tumbuhnya bunga,
meski kelopaknya telah kau sayat di Tanah Digul, Ende dan Bengkulu
meski lengan lengan ini hanya mampu menerkam sebungkus
nasi
dan adonan daun
pepaya dan ketela. Langitpun menyodorkan catatanya,
telah terbukti lengan lengan itu mampu menelikung sayap sayap Fighting Cock
dan Mallaby yang
terpincing matanya. Dan kala Palagan Ambarawa serta
Medan Area telah menjadi bukti meradangnya lengan lengan
yang lama terpingit ketidakadilan.
Setiap sari bunga sorga menjadi beterbangan memenuhi
ruang di bawah langit,
kala bunga Sakura dari Timur berhasrat meminang
2
bunga bunga dalam karangan berduri dan mengiris luka,
bunga bunga sorga yang
lemah santun menjadi saling
pandang
Betapa kekarnya bunga sakura, yang mengusung hasrat bersemi
dalam pijakan yang dalam, di sawah ladang Asia Pasifik
Pernahkah kau dengar cerita dari sekumpulan
awan ?....
yang tergelar karena bunga yang “murah senyum”
lantas menebas leher “bunga merah”, yang menjinjing
tempayan berisi air mata.
membuat angin
padang tak ramah melaju
menerbangkan debu debu
pada jalan yang panjang dan berkabut
Kita tak mampu lagi menampung air mata
yang tercecer di aspal jalan dan halaman kantor negeri
lantaran bunga bunga itu telah melonggarkan teriakanya
dan menyumbatkan nadi jantungnya, hingga berisi
makian, cercaan ....tak ada lagi beranda hati
yang ditumbuhi ranum mentimun, air mawar, segarnya air
Danau Toba
untuk sekedar
mandi anak cucu kita di pancuran sorga.
Bunga bunga kini menghitam putiknya,
Melepuhkan juga kulit kulitnya
lantaran terhempas asap kereta reformasi
yang melaju terbata di rel depan rumah bambu mereka.
Lantas mengapa hanya di halaman rumah bambu,
yang ditumbuhi bunga bangkai,hingga pelangi menjadi
pudar warnanya.
Kita tak perlu lagi saling beradu sorot mata
bila angin segar dari ketiak langit
masih mampu kita jaring untuk menyemai padi, palawija
dan anak cucu kita
yang bersekolah
di gedungin gedung yang retak dindingnya.
Kita atur langkah kita dan hembuskan nafas yang bersih
Agar bunga bunga sorga masih bisa tumbuh
Memagari punggawa punggawa yang membengkak perutnya
berisi ketamakan dan nafas busuk
meski halaman rumahnya telah terpancang
rimbunya tanda jasa dan kemegahan. (Semarang,
27 Oktober 2011).
Merajut Pagi di Bumi Nusantara
Benang sutra
kini sudah rapuh,
untuk merenda pagi dalam kanvas
yang berukir
mozaik wajah wajah tunduk,
betapa
tingginya bunga ilalang menggapai langit biru
di negeri
berpagar kemarau panjang
Telah kering
air kali sejuk membius
angin benuapun lebih memilih melajukan prahara
sementara
petinggi negeri
hanya duduk
melamun dengan taring menjulur tajam
dan siap
merobek wajah pagi yang santun,
sehalus sutra
dan sesejuk
buih Danau
Toba
Kita telah
berada di beranda jaman
yang berisi
dunia maya dan “solar flare”
mampukah kita
menyobek kelambu dan tabir
yang
mengungkungkan kita di kamar ketertinggalan
maka tiada
guna lagi tangan menggapai liar
bila rajutan
pagi tak membutuhkan lagi (Semarang, 27 Oktober 2011).
Dalam Doa
Dalam doa kita tak sendiri.....
Sayap sayap malaikat telah merentang
yang berisi gambaran perjalanan panjang
menuju Istana Megah di ufuk timur
Dalam doa, tak ada
saksi lagi
mengeringnya air mata...untuk membungkam
teriakan panjang di jalan jalan
pertikaian di gedung gedung terpandang
Tuhan, lindungilah negeri seribu bunga ini
(Semarang, 27 Oktober 2011).
Indonesia Di Tengah Benang Waktu
Kala pagi
halimun masih kentara, menghitami
hamparan sawah
ladang, dan menenggelamkan
kuning
permadani padi, dan hijau kecoklatan
palawija.
Belalang belalang masih meneriaki makian
panjang, di
tengah perut mereka yang meradang
seakan
menggenggam hasrat, untuk membelah
dinding perut
mereka sendiri.....
di tengah
mereka itulah Indonesiaku berdiri kokoh
Telah beberapa
lama pagi itu, mereka
yang bertopi
“caping” dan bercelana kumal
telah lalai
membenahi pagi, dengan sarapan nasi
hangat
dan sajian teh
manis.
Namun mereka
malah bersikokoh untuk
menghempaskan
pagi dan memaksa ilalang lemah
menelan ludah
mereka mentah mentah
bukankah gubug
bambu, yang berangin sejuk dan nyaman
adalah rumah
tempat bersemayam ilalang
yang ada
di Ibu Pertiwi
Mengapa atap
rumbai rumah- rumah ilalang sepanjang
“Bukit
Barisan” dan “Pegunungan Kidul” yang tersambung dengan
“Waisor” dan
“Timika” bersatu dalam seduhan
cincin
api....lantas akan kau ubah
menjadi
naga-naga bertaring merah, penghisap darah...
di atas “meja
korban” dalam tragedi kemanusian paling
pengap dan
mengiris bulu kuduk.....
Saat relung
waktu masih melilit perjalanan
panjang kita
hingga berada
tepat di depan kaki kita yang melipat,
ilalang itupun
masih menggapai kedua tanganya
lantaran atmosfer
di atas “Negeri Krakatau”
telah berwajah
garang, tanpa berdandan ramah (Semarang, 23 Oktober, 2011).
Meniti Awan- Awan Hitam
Kita rapikan
awan- awan dalam rentang perjalanan kita
agar tidak
berselingkuh dengan gelap dan hitam
jangan kita
pasang gendang telinga
pada lidah
lidah kelu, yang berkerah putih
dan bersepatu
“pantofel” dengan senyum “perlente”
Di tengah
perhelatan sumbang
dari anak
negeri...dengan kepalan tangan mengencang
tapi bersorot
mata menghadap rumah berarsitek
negeri impian,
mereka sempat bergumam
“biar saja
sang abang becak menghangus diterkam
panasnya
mentari...biar saja semua si miskin
terjerambab
dalam kubangan lumpur menghitam”
Kita adalah
anak negri, yang bermandi kuning
sinar sang
mentari di hulu ”Sungai Kapuas, Mahakam dan Musi”
bertatap pada
“Puncak Jaya Wijaya”
namun kita
harus tetap mentautkan benang sutra
titian
menuju
cakrawala yang ditengahnya berdiri
rumah
sederhana namun kokoh
tempat bermain
anak anak kita..
Jangan
kita surutkan apa yang kita miliki
hanya
karena awan hitam yang menutup kening
kita
serta membuat
kita terpagut pada asa yang samar (Semarang,
23 Oktober, 2011).
Takan Pernah Usai
Bergeraklah
dan terus bergerak
daun nyiur di
tepi pantai,
agar angin
kemarau,
mampu
mengipasi bidadari
yang melepas
dahaga
di tepi
pantai, pada muara sungai sungai
bening
beraroma khatulistiwa
Teruslah
melejit seperti anak panah
pergantian
arah angin muson
karena dari
sinilah, kita menjadi “Negri Santun”
6
yang tak kan
pernah mengusung teriakan panjang
yang tak
pernah membusung dada kita
kita takan
pernah berhenti......
menghembuskan
iklim sejuk dan bij-i biji kering
agar bersemi,
di sawah ladang,
tanpa prahara
dan suara burung sumbang. (Semarang, 23 Oktober, 2011).
Sebuah
Pesan untuk Saudaraku
Sudah berabad lamanya,
nenek moyang kita....
mengikat pagi,siang dan senja hari
dengan jagung, ketela rambat dan bayam
tak ada duri tajam di
sawah ladang mereka....
mereka
siram dengan air Anugerah dari
Yang
Kuasa.
Tiada
gemercik air kali yang membawa aroma
kemunafikan dan durjana,
sawah merekapun ditanami
“tanaman
kebajikan” hingga menumbuhkan semai
kebijakan.
Tiada
pernah ada makar, anarkis dan mesiu
Mari
kita menambatkan perahu di pantai mereka
meski akan kita temui jalan dari tanah liat yang
licin,
lembab namun bertepi wangi bunga
berpagar
bambu dengan anyaman yang rapi dan kokoh
dengan
“sang gula kelapa” melekat kuat di pilar
kayu
pintu depan rumah gubug mereka.
Kita
sapa punggawa, hulubalang serta para menteri
Yang
berjejer rapi di cakrawala mereka
Yang
berangin sepoi, bukan angin yang berdebu,
yang menderu memburu, halaman depan gedung loji
beratap kayu cendana dan bertembok tulang
belulang
dari
belukar , yang tumbuh di tengah padang
penuh batu
bergerigi.
Kita
sisipkan satu halaman buku catatan kita
Agar
terbaca bintang, halimun dan tepi langit
Sehingga
mereka berhasrat datang ke Bumi Nyiur di Pantai
Dengan
mengemudikan angin fajar.
Mari
kita benamkan, segala bara, hempasan prahara
Yang
datang dari sudut langit, yang kau penuhi dengan
iri dengki dendam dan hasut
tiadakah
pagi, tempat memainkan buluh kembang
tebu
untuk
dijadikan seruling.
Atau
kita hanya diam....
Sepi. Semarang, 29 Oktober 2011.
Prosa
untuk Negeriku
Bila kita untai sepotong sajak dari guratan alam
yang terhampar
pada kubangan antara dua benua,
melajulah Pinisi, yang membuang sorot mata jauh
ke Selat Malaka,
yang berombak sejuk, penuh “susul menyusul”
lagu rakyat tentang pantai, lembah dan gunung.
Meski ‘Wedus Gembel” pernah menyalak keras,
Namun dia tetap mengokohkan
Tebing tebing yang memagari sawah ladang
Agar tetap betumbuh hijauan, yang tak pernah
melangkah surut ,
meski prosa ini
telah kehilangan birama tentang “untaian kasih”
Dari kumpulan kembang sepatu ,beluntas dan kayu manis
Mereka saling melilitkan akarnya agar kokoh berjejer
sepanjang relung waktu...memenuhi megahnya
hingga pujanggapun tak lagi mampu
menyusun prosa (Semarang,
29 Oktober 2011)
Aku tak Ingin Pulang
Aku belum mampu meninggalkan jejak kaki
Agar dipunguti anak
cucu
Yang memburu
belalang liar...
dan tidur di
ilalang yang mengering
Baru saja udara
yang pengap
Berselingkuh dengan
rongga dadaku,
Hingga penat
menyelinap seluruh sendiku
Karena aku berusaha
ingin tahu, tentang teriakan
panjang para anak
bangsa yang menyelipkan
segudang
geram, mampu merobohkan
Anak Krakatau dan
Rinjani
Aku tak ingin
pulang
Sebelum bunga
bunga kering di tengah jalan
yang ditebar dengan
sebelah mata
menjadi bersemi
lagi
harum
mewangi...menghiasi puncak
Jaya Wijaya. (Semarang,
29 Oktober 2011)
Dendam Rindu
Kekasih yang menyimpan rindu,
adalah dia yang memegang erat semua
yang singgah di bilik jantung
Sang putri yang menawan, bersenyum ceria yang
disemai “Caldera Gunung Bromo”,
menopangkan hidupnya dengan bergayut
pada sejarah yang ditoreh tinta emas
pejaka yang merindu
yang selalu berikrar menyatukan semua
kaldera,kawah belerang, fumarol dan
hiasan alam
yang bersama dipikaji dengan dendam rindu
Luruhkan dahulu dendam rindu
Agar mengatur nafas
Dan beristirahat di Bumi Nusantara (Semarang,
29 Oktober 2011)
Pejuang Terakhir
Lelaki tua itu telah redup sorot matanya,
mengais angin sejuk,
menyisir duka
di
pinggiran jalan protokol beraspal kepongahan,
di sampinya meluruskan kaki, berbaju compang camping
milik anak jaman
seorang
pengemis muda…
“aku
dulu mampu membungkam howitzer Anjing
NICA”
seru
laki laki tua itu, seraya menunggu kekaguman
pengemis
muda mencibirkan bibir, membeku lidahnya
dengan
mendengus nafas
pengemis
muda menikamkan sebuah seloroh
“mengapa
tak kau kenakan kerah baju jendral”
batu
batuk kecil dan dalam menjawabnya
menyelipan
kata, “usai sudah yang aku mampu…..
dadaku
tak cukup bidang untuk menggayutkan
bintang
jasa”
di
pinggir jalan berumbai langit biru
adalah
milik lelaki tua itu…yang mengungkung hatinya
tidak
segentar membungkam “Water Mantel”
di
genggaman “Gurkha” yang perkasa
semakin
perlahan dia menyusuri jalan itu
kini
sepi, dalam keranda tak berkemas
merah
hati namun berkibar di hatinya
dalam
keranda dia membawa tanah Sang Ibu Pertiwi
untuk
di semai di halaman langit (Semarang, 3
November 2011).
Sebuah Epos Yang Hilang
Tidakah
kau pernah tahu ?
mereka
datang dari jauh hanya membawa bara
untuk menghanguskan setiap lekuk tubuh
Sang
Ibu Pertiwi, aku menggenggam pilu
Aku mengencangkan urat nadi
tidakah
kau tahu pula, anak- anaku?
Kita
hanya memiliki
rembulan
dan matahari yang saling berkejaran
untuk
menguningkan padi dan tanaman jagung
agar
perut kita tak menghempaskan deru
Namun
mengapa mereka
menjaring
angin kembara dan mengaitkan
pada
sisi “negeri santun berpantai nyiur”
kita
tak akan melipatkan lengan
meski
kita hanya bertelanjang dada
namun
degup jantung mampu merobohkan tebing
yang
mereka kokohkan
sepanjang
Bukit Barisan hingga Cendrawasih
Anaku,
bila
kokok ayam jantan di tebing ufuk timur
pagi
berhias mentari, burung berpantun ria
dengan
bulu warna warni
berbicaralah
pada hari hari yang membisu
tentang
lengan lenganku yang menghilang
kala
memburu mentarimu, agar tetap terjaga (Semarang, 4
November 2011).
Manifesto Untuk Hantu Berkerah Putih
“Altar yang kau lebarkan hingga menepi di batas Laut
Kidul, gigimu menyeringai, nampaklah tangan kecil menggelepar meradang nyawa
namun menepis nafas mereka sendiri. Sekawanan hantu terus saja membaca mantera,
dengan jas hitam berkerah putih, hingga Nampak langit berpoles warna kebiruan
namun masih berenda awan hitam”
Pohon
perdupun menyimak, meski belukar mencibir, rumput tetap saja mengokohkan sepatu
laras untuk menunjam bumi, bila sang
Pemeran Jaman terpelanting dalam jurang,
Namun
berjuta raut, mempersembahkan protes terhadap “mantra sang hantu”
Yang
hendak mengoyakan langit.
Dan mengusung awan hitam, bertepi racun, onak
bulu bambu.
Untuk
mengusir nyamuk nyamuk bertulang iga rapuh di bawah gubug bambu
Jangan
kau hadapkan punggungmu, sang hantu !. Bila liuk puting beliung menghimpitmu,
Hingga
melemparnu ke Puncak Tanguruhua atau Pinistubo,
Agar
kau lebih akrab dengan tabir yang dulu kau pintal setebal belacu,
Kau
boleh mengajak semua yang ada di kantong bajumu
Untuk
menjadi teman kala kau tersudut di sudut tragedi
Apakah
belum pernah kau dengar lagi,
Saat
ibu ibu di desa membawa anaknya untuk melihat dunia
Mereka
bersekolah di bangunan kardus, bersandar pada
keramahan
angin gunung, untuk menyisir daun daun sayur yang tumbuh
Di
sepanjang kebun penuh harap, sedangkan
atap sekolah mereka
selalu
bergoyang ditiup angin ketidaktahuan
Atau
kau lebih memilih
Bernyanyi
simphoni riuh rendah yang mampu merobohkan warna pelangi
Kala
hitam tidak sepantasnya bertaut dengan jingga,
Atau
biar saja “wedus gembel” menjadi merah membara
Menyodorkan
sudut jantung yang berkawan sembilu
Kemudian menusuk tiap yang kita miliki (Semarang, 4
November 2011).
Dari
Majapahit Hingga Reformasi
Setiap
pantai berbuih lembut.
Dari
hamparan Laut Utara hingga Selatan, bersemilir angin
penyejuk
sepasang mata kita,
petir
dan halilintarpun memasang bantal peraduanya,
mentaripun
menjaga tidur pulas mereka,
diapun
terus saja mengipaskan kuning rambutnya
agar
menusuk sanubari kita masing masing
tentang
“Negeri Tautan Keramahan Alam”
Negri
ini,
telah
menopang kita dengan bahunya yang lebar
senyum
gadis desa, mandi di sungai bening
mengalir
sepajang lembah hijau.
Tak
ada teriakan panjang memantul
Dari
dinding-dindang kedurjanaan.
Aku
berusaha mengintipnya dari sela sela
pagar tanaman tanaman beluntas, beribu membiusku
tatkala
semua anak cucu terbawa angin
katulistiwa
telah
terdampar pada lembah “senyum menawan”
kita
bersemayam, dalam nafas yang lentur
Sang
punggawa kraton Majapahit beramai-
ramai,
Menawan
hati “Sang Mahapatih Gajah Mada”
menarikan
gemulai hasrat, lembut tari kemanusiaan
Mengusung
sebuah kabar, datang dari mega Mahameru”
Untuk
menyunting “Negeri Katulistiwa”
Borneo
bermandi wangi bunga, pada jambangan bunga
Telaga
Bukit Barisan, Burung Cendrawasih menatapkan
sorot
mata sejuik, mampu melipat halimun pagi
Titian
pelangi senja, telah mengokohkan sebelah kakinya
di
Gunung Jaya Wijaya….
Namun
duka merayap di tiap tulang iganya
Ketiga
pelangi merambah “Negeri Reformasi”
“warna
merah bara menyalak memenuhi tiap pagi,
biru
menyendukan kemanusiaan yang tertsedu.
Warna
putih berselingkuh dengan awan gela,
Di
tepi wara jingga, yang memudar
tentang
“cinta kasih” antara ilalang Negeri Reformasi
sang
dara penjaga awan
telah
basah pipinya tertusuk asap hitam
yang
membumbung dari gedung-gedung menteri
yang
terbakar angin prahara
semua
berteriak nyaring dalam deru
di
atas jalan aspal yang mengelupas
kala
anak kota tawur melemparlan semua kebohongan
yang
mengalir bersama air sungai yang hitam
dan
bermuara pada perut buncit punggawa kraton
aku
berlari mencari pagar yang kokoh
tak
ada lagi muslihat atau pertikaian
tapi
pagar itupun menghardiku kuat kuat
sudah
tak ada lagi pohon tempat nyanyi kenari
meninabobokan
anaknya yang mencicit
terbelit
uang SPP,
aku
menjerit hingga terjagalah dari tidur siang
sang
penjual bakso, mi ayam, abang becak,
tukang
bangunan, kenet mikrolet yang mengakar
pada
permadani hijau Negeri Reformasi
dalam
kereta yang tidk pernah singgah
di
stasiun berhalaman beluntas*** (Semarang, 6 Nopember 2011)
Senyum
Malu Bidadari
Senyum
malu dari Anggrek Bulan, tanaman bidadari
Menyeruak
memenuhi halaman Prambanan dan Borobudur
Lantas
Serambi Mekah di Plataran Malaka,
telah
tersapu bersih dari sampah sampah “tak berarti”
saat
lesung pipi bidadari menemani petani desa,
menata
benih padi bersiram air hujan ramah
Menggurati
kanvas kehidupan kita semua
Senyum
kembali menghampar pada kungkungan langit
Kala
birunya telah ditelan hidup- hidup “Bhatara Kala”
Lambing
kebimbangan dan kemusykilan.
Namun
senyum tak berlesung pipit
lantaran
telah usang pantun dan gurindam
serta
sajak sajak tentang nasionalisme
Jangan
kau tertunduk galau dan risau…bidadariku
Kembalilah
dengan senyum malumu…beruntai
tembang
manis negri berpagar hujan
Mari
kita kembali lagi bertanam patriotisme
hingga
anak anak kita kokoh menggenggam
gula
gula manis, mengejar nurung pipit hingga
ke
tengah sawah, bermandikan air bening kali desa***(Semarang, 6 Nopember 2011)
Fatamorgana
Kemarin
“emak” telah memberiku
Sepotong
dongeng, tentang aku dan bagaimana
aku
memungut nafas, di tengah liukan “jalan tak berujung”
Emak
menerpakan aku sebuah pandang mata
yang
jauh menebariku “semai kemanusiaan”
hingga
ke tengah hati ini
Anaku;
Jangan
kau iri dan dengki
Jangan
kau menyelipkan hidup
dari
“uang Negara”, yang nantinya
melumatkan
sendi tulangmu
Jangan
kau tertawa di padang ilalang
Padahal
kelopak bunganya telah tegak
menghadap
langit.
Anaku,
bersatulah
dalam ikatan jalan panjang
menuju
bangunan kokoh di balik “dongeng emak”
tanpa
fatamorgana, meski kabut masih melilit
aku
menggeliat *** (Semarang, 6 Nopember 2011)
Ilalang Ilalang Negeri
Bunga ilalang ilalang telah kusam bunganya
Tiada
angin padang yang menjenguknya…
kian
sepi dan meluruh tulang daunya
kala
sepatu laras merebahkan
Ilalang,
menembus pagi berpagar Flamboyan
Tapi
tak pernah menemui harum selaksa kembang
Ilalang
kembali jadi lakon
Dalam
panggung lenong betawi
Hingga
tiada pagar yang mampu menepis**(Semarang, 6 Nopember 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar