Kamis, 22 November 2012

Laskar Bulu



Tak mudah memang mengusung hidup seperti yang kita harapkan, kadang kita dipusari angin kemarau yang hanya membawa debu kering. Semenatar daun daun hijau hanya meranggas, meski ujung daun yang masih segar hanya mampu meneteskan embun yang sedari malam tadi melingkunginya, sementara lainnya hanya mampu membasahi petak sawah ladang yang sudah meretak dipagut keringnya udara musim kemarau. Kadang pula kita dihimpit hujan badai seharian, yang mendatangkan guratan petir di langit yang menghitam, sehitam nasib nelayan nelayan miskin di hunian pesisir utara Pulau Jawa.
Desa  Sawojajar, Brebes masih saja diterkam hujan seharian yang mencandai pagi hingga sore hari, meski pada malam hari  tiupan angin kumbang milik musim  kemarau sudah mulai terasa menggigit sumsum tulang nelayan nelayan di pesisir itu. Tinggalah kini mata mata redup, dengan tatapan yang kosong terpasang pada wajah yang memucat. Karena angin tenggara sudah mulai menjadi selimut malam mereka, yang bertiup kencang dengan disambut ombak laut yang garang dan siap menenggelamkan perahu mereka yang telah sarat dengan penderitaan. Lantas dimana lagi mereka mampu meyelipkan hidup, bila terus menerus mereka hanya menyandarkan arah angin. Padahal anak anak mereka terus saja bersekolah, agar mampu ,menuai masa depan lebih cerah ketimbang hidup mereka.
Sesekali mereka berpikir untuk menjadi petani bawang merah seperti teman teman mereka yang pernah sukses lantaran lebih menyandarkan pada suburnya tanah. Namun baru saja mereka menyemai gagasan indah, alampun berteriak nyaring dengan mengirimkan hujan yang tiada pernah berhenti. Mereka kinipun hidup di negeri yang berpagar hujan setahun. Semai tanaman bawang merah yang belum seberapa besarnya, telah menjadi makanan yang menggairahkan bagi ulat ulat bulu dan jamur.
Wirjo menjadi kalang kabut, uang yang tersisa dari melaut hingga ke Kota Rembang beberapa bulan yang lalu telah musnah di makan ulat bulu tanaman bawang merah. Anganya semula mampu melunasi SPP anak anaknya dari hasil panen bawang merahnya, kini lenyap bersama hujan angin yang saban hari menerpanya. Lantas apa bumi ini telah berputar berbalik arah, atau karena matahari sudah mengajukan protes atas kelalaian semua manusia untuk menyembah Sang Pencipta. Ataukah memang dia belum pernah berusaha maksimal untuk menjadi insan yang penyabar.
Rotipah istrinya adalah yang hadir terlebih dahulu di hatinya, kala dia termangu di samping petak tanaman bawangnya yang puso. Kapan aku mampu membawanya ke bahtera kehidupan yang lebih ramah, ataukah hanya ini yang bisa dia berikan pada istrinya itu, setelah tahun kemarin dia hanya mampu membeli perahu nelayan dan mebuatkan rumah papan, terselip di tengah padang ilalang.
“Lantas kita harus bagaimana lagi, Pah !” seru Wirjo pada Rotipah istrinya yang hanya tertunduk lesu di samping tungku perapian untuk merebus pecel daganganya, termasuk sarapan pagi anak anaknya yang akan pergi ke sekolah.
 “Terserah kamu, Pak. Dimana tempanya pasti ada rejeki. Kamu bisa saja ke kota besar”
 “Di kota besar juga penuh ketidakpastian, Pah !”
“Pikiran sampeyan seperti itulah, yang membuat kita tidak pernah menggapai masa depan untuk keluarga ini!” Rotipah kini kelihatan bersungut sungut wajahnya. Pipi dan keningnya menjadi memerah meskipun di beberapa bagian sudah kelihatan keriput.
“Masa depan yang bagaimana to, Pah ?” Wirjo masih saja dalam hatinya berniat untuk menyejukan hati istrinya yang sangat dicintainya. Kembang kampung di Sawojajar yang lima belas tahun yang lalu berhasil merobohkan hatinya.
“Aku paling kesal, kalau melihat sampeyan pura pura bodo. Apa Lisa, Adi tidak butuh SPP dan si kecil kita tidak perlu susu” . Rotipah memberikan wajah yang tidak seperti biasanya, lantaran untuk tahun ini memang mereka mengalami masa yang sulit.
“Bukan itu maksudku, Pah !. Di kota juga banyak buruh yang terkena PHK atau pengusaha yang bangkrut. Lantas apa yang bisa aku lakukan di kota?”
“Sampeyan coba dulu to Pak ?, Aku harapkan sampeyan mampu seperti tahun tahun dulu yang gigih, mampu mengatasi kesulitan apapun. Padahal anak anak sudah bertambah besar “ Rotipah kini nampaknya tidak mau suaminya berputus asa. Rotipahpun tahu bahwa jaman yang harus mereka tapaki, adalah jaman yang penuh kerikil tajam dan berliku dan jalan yang bertepikan jurang yang menganga dan dalam sedalam perilaku manusia yang mendzolimi mereka sendiri demi sesuap nasi.
“Sampeyan bisa saja berbuat apa yang penting halal, jadi abang becak,apa satpam apa saja lah demi anak anak “.. Toripah bertambah garang wajahnya, kali ini dia tanpa memberi angin sejuk sedikitpun pada Wirjo suaminya, yang sedang diserang badai perasaan tak percaya diri pada selembar kehidupan mereka yang tidak seberapa tangguhnya.
“Sampeyan jangan putus asa apalagi sampeyan belum  bisa menerima kenyataan ini, kehidupan kita bertambah dengan badai derita, kita berdua manusia yang tidak punya derajat apapun, Pak !. Hanya masa depan saja yang kita miliki. Aku tidak mau tahu sampeyan mau jadi apa”
“Bukan itu semua yang aku maksudkan, Pah. Aku berniat mengatasi masalah kita dulu. Cobaan ini saya yakin tidak akan lama. Bila musim telah kembali baik, ulat ulat bulu itupun akan menjadi kepompong dan kita bisa tanam bawang merah lagi “ , Belum selesai Wirjo mengucapkan kata katanya, keburu dia berlalu pergi meninggalkan sarapan paginya yang sudah disiapkan istrinya, sayur lodeh dengan tempe dan sambal terasi dibiarkan begitu saja. Bara hatinya yang terus mengganjalnya telah membuat dia tidak berselera sarapan pagi. Wirjo lebih memilih gabung dengan teman temanya yang berjanji untuk rapat ulat bulu di pos penyuluhan di tengah sawah Sawojajar.
Ulat bulu yang kemarin menghabiskan daun daun bawang merahnya, kini mulai merambah ke pematang sawah sepanjang perjalanan Wirjo menuju gubug pos penyuluhan. Bulu kuduk Wirjo menjadi bergidik, meski rintangan ombak dan ganasnya laut selalu dia hadapi dengan penuh keberanian, namun menghadapi ulat bulu, Witjo tak mampu berbuat apa apa. Namun Wirjo terus saja melangkahkan kakinya menuju posko yag kini sudah bertambah dekat, hanya beberapa puluh langkah saja posko itu sudah berada di depannya.
“Mengapa bisa terjadi seperti ini, Pak Ruslan ?” . Belum sempat Wirjo mengatur nafas,di posko itu, sebuah pertanyaan yang polos  keluar begitu saja dari mulutnya. Namun Pak Ruslan, pegawai penyuluhan kecamatan yang sudah hampir pensiun dan sabar itu hanya tersenyum lebar.
“Yah..ini kehendak Yang Kuasa, disamping itu  kekacauan iklim belakangan ini. menjadi factor penyebab utama serangan ulat bulu ini. Curah hujan masih tinggi dan merata sepanjang tahun dan tanpa musim kemarau pada tahun kemarin, padahal ulat ulat itu perlu musim kemarau untuk membuat kepompong” jawab laki laki uzur itu dengan senyuman masih menghiasi wajahnya.
“Teman teman yang gabung disini berencana akan membasmi dengan insektisida,Pak!. Hanya saja kami belum minta ijin pada Pak Lurah ”.
“Bila penyebab utama meledaknya populasi ulat adalah gangguan keseimbangan alam, maka percuma kita gunakan insektisida, lagian ulat ulat bulu itu beberapa diantaranya telah kebal dengan insektisida dan akan menambah dampak lainnya. Berapa besar biaya yang harus bapak bapak keluarkan itu ?”.
“Belum tahu Pak, sungguh petani dan nelayan di sini semua sedang kelimpungan, sudah beberapa bulan ini kami tidak melaut, bertanam bawang merahpun begini jadinya. Seharusnya  tanaman bawang merah kami sudah besar, angin kumbangpun sudah mulai muncul,  pertanda kemarau sudah mulai datang. Tapi hujan angin terus saja tiada henti             hentinya “ .Prasojo yang dari tadi hanya diam, kini bibirnya memberondongkan kata kata kepanikan bagaikan senapan mesin yang menembakan peluru ke arah musuh, di tengah petani Sawojajar lainnya yang sama dirundung kepanikan dan kekecewaan.
“Tidak ada perbuatan lainnya yang bisa kita lakukan kecuali bersabar dan gunakan cara cara lainnya untuk menanggulangi ulat bulu ini”
“Caranya bagaimana Pak ?” pinta Karso.
“Yang pertama gunakan uang sampeyan semua untuk membeli minyak tanah dan oli bekas, siramlah sekeliling rumah sampeyan secukupnya, untuk melindungi rumah sampeyan dari ulat bulu tersebut. Tunggulah awal musim kemarau nanti, paling hanya beberapa minggu lagi, angin kumbang belum terasa kuat betul. Sampeyan sebaiknya bertanam dan memanen bawang merah dengan serentak, sehingga dapat memutuskan
siklus hidup ulat tersebut. Nah dengan cara seperti ini, populasi mereka akan menurun tajam”
“Entahlah, apa lagi yang akan menerjang nasib kita. Beberapa waktu belakangan ini kehidupan kami semakin terhimpit, kami pernah mengalami bermacam cobaan Pak, mul;ai jatuhnya harga bawang, angin kencang serangan tikus yang merajalela. Seharusnya bulan bulan kemarin kita beruntung, karena harga cabe naik, tetapi apa daya, tanaman cabe kami semua busuk diterjang hujan yang terus menerus. Dan kini giliran ulat ulat sialan menyerang hidup kami, bagaikan laskar berbulu tanpa mengenal belas kasihan” Rintihan Santo mengheningkan semua yang hadir. Pandangan mereka kini jauh ke hijau pemandangan sawah mereka yang terkapar di terjang laskar berbulu”
“Kehidupan aku dan sampeyan semua tidak hanya sampai disini, kita masih harus membiayai sekolah anak anak kita. Laskar lascar berbulu tak lama lagi akan hancur dimakan sengatan kekeringan di musim kemarau. Siapkan dulu lahan lahan kalian untuk tanaman palawija, seperti kedelai lokon, jagung hybrida dan lain sebagainya, sambil menunggu datangnya kemarau. Jangan terus meratapi laskar berbulu itu”
Ucapan dari penyuluh uzur itu memang telah menyentuh hati petani yang hanya memiliki sebilah harapan untuk masa depan mereka. Barangkali saja memang hidup harus disongsong dengan selaksa asa demi sang bahtera yang tiada seberapa kokohnya di tengah deru ombak lautan yang tiada pernah mengenal belas kasihan. Wirjo kinipun bertambah sigap melangkahkan kakinya untuk pulang menemui istrinya dengan segenggam harapan***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar