Kedua kakinya sudah terasa berat untuk melangkah,
urat nadinya tampak membesar dan menggurati kulit kakinya. Langkah yang
berat itu terus menapaki jalan jalan
kecil, terpaan angin sore mulai menghalangi
langkah yang mulai gontai. Matanya yang tersembunyi di lengkung pipi sesekali
menatap tajam dan lurus ke depan, sesekali juga menatap dalam dalam jalan jalan
kecil desa yang masih berwarna merah tanah liat. Namun dia sama sekali tiada
sedetikpun berani menatap cakrawala.yang bersemburat awan jingga, meski berkas
berkas sinar matahari masih kelihatan menyela daun daun pisang sepanjang jalan
itu. Lantaran di cakrawala itulah kini kedua anaknya merangkai kehidupam mereka.
Berias bunga warna warni, bercanda ria
dengan bidadari penghuni cakrawala senja. Layaknya hidup di Kahyangan Suralaya Dari kedua kulit
mereka memancarkan aroma keharuman surgawi. Mereka sama sekali tiada mengenal
waktu, angan dan membanting tulang demi sepiring nasi jagung, sekerat singkong.
Mereka tidur di kasur angin, dengan bantal bersusun tujuh.Mereka hidup di suatu
kehidupan yang sama sekali tiada kebohongan, kemunafikan dan kebiadaban
Meski cuma sesekali, kedua anaknya tiada
pernah mau menengoknya, apalagi untuk menemaninya menebar semai kehidupan di
sawah mereka yang tidak seberapa luasnya. Sekeranjang sembilu kini mengiris
hatinya yang terus saja melemah melawan kendaraan waktu yang tak mau meletih. Gubug
bambunya kini sudah mulai kelihatan, tak berdaya melawan ilalang yang tingginya
hampir separo tubuhnya. Dia hanya mampu menyelipkan hidupnya di sebuah gubug
tua di tengah padang, yang berada di sudut kota bersama istrinya yang
renta.
Wajah gubug itu langsung menyeringai dan
memberikan senyum yang hambar, senyum yang dia sendiri tak mampu mengartikan.
Hanya saat saat bahagia saja yang ada di
benaknya kini. Meski kenangan itu telah lewat
entah berapa puluh tahun. Saat Dirman anak sulungnya membantu menyisir
tanah subur di sawahnya untuk semi padi dan palawija sebelum matahari berani
menampakan wajah di kampung yang telah
didera revolusi, sementara Nurlela putri bungsunya sibuk menghidangkan teh alam
panas bercampur gula aren. Istrinya Aryati telah terlebih dahulu menyongsong kehidupan dengan
pergi ke kebun untuk memetik sayur sekedar untuk sarapan keluarga petani ini.
Itulah sketsa hidup Soenaryo dan keluarganya di tengah badai revolusi, yang
ditiupkan komintern-komintern yang ganas.
Namun setumpuk kisah perjalanan anak manusia
yang dia miliki, yang memenuhi rongga dadanya kini telah menjadi debu, termasuk
kedua anaknya yang ikut terbakar bersama rumahnya, yang kala itu terbuat dari papan
jati yang megah menjulang tinggi, setinggi cita-citanya kala dia masih muda.
Rumah dan kedua anaknya ikut menjadi debu-debu revolusi kala komintern membakar sebilah kehidupanya
secara biadab.
Sementara itu istrinya yang tercinta, sudah
tak bertulang lagi lantaran terpagut dalam kegetiran. Iapun langsung pinsan
dipelukan laki-laki tegar pemimpin pemuda yang kontra komintern dan berusaha
menepis kehadiran komunis di tanah kelahiranya Ampel, Boyolali . Tetapi Tuhan
yang Kuasa masih berkenan memberikan KaruniaNYA, istrinya mampu membuka tabir
semu perlahan,mulai dan mampu mengerti makna realita hidup. Meski mereka hanya
segelintir hamba Tuhan yang terselip di bingkai kehidupan yang telah pengap.
“Aku sudah buat teh hangat kesukaanmu, Pak!,
minumlah sebelum dingin” . Suaminya hanya diam membisu, tapi teh hangat
kesukaanya kini telah membasahi tenggorokanya, rona wajahnya kini agak segar,
secuil keceriaan mulai muncul. Direbahkan tubuhnya yang tinggi itu pada korsi
renta, yang sudah kusam tapi masih setia menemani Soenaryo sejak
“Alhamdulillah, hari ini lahan kita siap
untuk ditanami, Bu !. Besok aku coba untuk menebar bibit tembakau”
“Aki ikut, ya Pak “
“Sudahlah, kan pinggangmu belum sembuh, istirahatlah
dulu sampai kamu sehat, Kalau kamu sakit, siapa yang masak, siapa yang merawat
gubug ini ?”
“Rasanya tambah hari bukanya tambah sembuh.
Tapi tambah terasa sakit, Pak “
“Makanya istirahat, biar tak kambuh lagi.
Harusnya memang batu ginjalmu dioperasi saja Bu ?”
“Biaya darimana, Pak ?”
“Aku melihatmu semakin hari,semakin pucat.
Kita jual saja sawah kita to Bu, untuk biaya operasimu ?”
“Kita mau makan apa ?. Hanya itu harta kita.
Berapa banyak yang sudah kita jual to Pak. Sekarang biarlah yang tersisa, menjadi sawah kehidupan kita”
“Aku masih mampu mengayuh becak, Bu ?”
“Masya Allah, Pak !, tua bangka seperti kita
mampunya hanya menunggu berkalang tanah. Kalau tiap hari kamu masuk angin terus bagaimana mau
jadi tukang becak ?”.
Tiada sepatah katapun yang mampu dilontarkan
Soenaryo dari mulut yang terkunci, terkatup bibir bibir yang menghitam dan
keriput. Teh manisnya kini mulai mendingin, namun direguknya hingga habis. Gubugnya
kini dikungkung oleh temaram senja yang meremang. Namun sebersit anganya kini
mulai bergayut di hatinya. Betapa berbedanya dia kini dengan kehidupan kala dia
masih muda, kala pemuda di desanya menunjuknya dia menjadi ketua front pemuda. Pemuda
Soenaryo yang kondang sebagai pemberani
tiada tandingnya, saat itu telah malang
melintang di Boyolali menggalang kekuatan anti komunis.
Maka suatu hari yang tiada pernah dilupakan,
di tengah selimut malam yang menggigit, pintu depan rumahnya telah digedor
kawanan pemuda PKI yang jumlahnya ratusan, yang dipimpin Sadewo simpatisan
Barisan Tani Indonenesia Boyolali.
“Kamu tanda tangani surat ini, atau mati “ pekik Sadewo dengan sorot mata yang tajam dan tangan yang
kekar kini sudah berada di leher Soenaryo. Pekik ketakutan kedua putra
Soenaryopun kini memenuhi setiap sudut ruang tamunya yang luas, berdinding kayu
jati dan berlantai semen.
“Sadewo, kamu anak kemarin sore, jangan
berani berhadapan denganku. Sedikitpun aku tak gentar, bila harus berhadapan
denganku. Sampai kapanpun aku tidak akan menjadi anjing komunis di negara ini.
Aku manusia beragama, bukan kafir seperti kamu ! “
“Jangan banyak bicara, tanda tangani ini,
atau seluruh rumah ini akan hangus”
“Anak ingusan beraninya hanya menggertak, apa
ini yang disebut revolusi merah. Apa dengan cara begini Aidit akan memimpin
negri ini. Aku tak sudi dipimpin manusia-manusia biadab sepertimu. Ini yang kau
bilang Indonesia di Jalan Baru gagasan
Muso itu, ayo jawab, Sadewo !, atau kamu sekarang menjadi anjing…yang hanya berani menyalak”
“Kurang ajar, kau pantas mati, namun
saksikan dahulu rumahmu dimakan api. Memang harus dengan cara begini manusia
kontra revolusi pantas mati”
Soenaryo kini tak berdaya, kala beberapa
pasang tangan menyeret tubuh dia dan
istrinya menuju halaman rumahnya yang luas. Beratus mulut mulut biadabpun kini
ikut mengulilti pasangan suami istri itu dengan cacian “anjing kapitalis,
anjing imperialis, anjing nekolim dan cacian lainya yang sudah tidak mampu lagi
dia dengar. Kini Soenaryo menyaksikan sendiri rumahnya terbakar habis bersama
dengan kedua belahan jiwanya. Teriakan kedua anaknya dari dalam rumah begitu
menusukan selaksa kegetiran dalam hatinya, yang tiada pernah mampu dia lupakan.
Kursi kuno kayu jati kini terlihat bergoyang
pelahan, lantaran darah dalam nadinya mendidih dan menggetarkan otot tubuhnya
yang telah rapuh. Kedua tanganya mengepal dengan dengus nafas yang panjang.
“Sudahlah, Pak. Memang inilah jalan hidup
kita”
“Kenapa jalan hidup kita seperti ini. Aku
selalu berdoa tiap waktu, agar Dirman dan Nurlela di alam kelanggengan berbahagia.
Mereka berdua adalah anak anak korban revolusi, sudah selayaknya mereka
mendapat pertolongan dari Tuhan yang Kuasa”
“Itulah kekuatan kita, Pak !. Hari sudah
malam dan pinggangku semakin nyeri tertusuk angin malam. Aku sekarang mau
tidur, tubuhku sudah mulai lemas. Aku membayangkan anak anak kita di sana selalu tidur berkasur
angin, sehingga tubuh mereka tidak merasa penat. Berbeda dengan kita yang
renta, tidur di kasur empukpun masih terasa sakit “
Soenaryo segera mengulurkan tanganya untuk
membimbing istrinya ke tempat peraduan di dalam bilik bambu yang mulai rapuh di
makan usia. Kini mereka hanya pasrah menghadapi hari esok yang kelam.Namun
mereka berdua masih menyelipkan perasaan bahagia, karena mereka yang
menghancurkan hidup keluarganya telah mendapat balasan yang setimpal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar