Ketika sang waktu telah menyelinap di antara
hamparan Antartika hingga Gurun Sahara, kemudian meletakan sayapnya di Archipelago, yang kelihatan dari
angkasa kini terbuai bermandi buih lautan.
Lantas kawanan sang bidadari mengipasinya dengan angin pasat, pertanda nafas
sang waktupun telah menyesak di dada. Maka segenap penghuni kahyangan menjadi
tersenyum ceria, betapa syahdu dan indahnya negeri itu, demikian guman hati para dewa. Segera
dari langitpun bertebaran bunga warna-warni yang semerbak harum mewangi.
Kini dihamparan dua samudra, telah melambai
sejuta nyiur yang berjejer di pantai negeri
itu. Sembari memberi kabar kepada bioma
bioma nun jauh disana, agar mau
berguyur mandi air hujan yang terkucur dari mata air Cupu Manik Astagina yang digenggam tangan Sang Hyang Pramesthi Bathara Guru, pemimpin para dewa di Kahyanga
Suralaya. Sambil bermesraan menonton sendratari
Ramayana di halaman Candi Prambanan yang mencakar langit, dengan puja dan puji
untuk meminta kemurahan sang dewa. Konon menurut legenda, para dewa di Kahyangan Suralaya menjadi berselimut
derai tawa. Pertanda pralaya
hanya mampu mengintip dari balik awan. Entah dalam perjalanan sang waktu natinya.
Sang Pralayapun lebih senang bersemayam di Mahameru, simbol “derajat pangkat”
negeri yang sejuk dengan terpaan hujan sepanjang tahun.
“Hai, sang pralaya, kuatkan peganganmu di
puncak Mahameru, jangan dulu engkau terlena dengan tarian para bidadari yang
sedang bercengkerama di tepi telaga.
Biarkan saja semua
yang hidup di negri yang tak pernah lekang itu, mampu tersenyum ceria. Biarkan
dahulu bocah desa bertiup seruling bambu di atas kerbau.
Biarkan dulu
permadaniku berwarna kuning di hamparan sawah yang sejuk da mengalir air yang
bening sepanjang tahun “ Demikian titah
Sang Hyang Wenang.
“Akupun akan turun ke tengah mereka bersama
denga luapan magma, tsunami, gempa dan badai petir, bila aku sudah merasakan
gerah di sini. Lantaran banyak diantara manusia yang saling melempar ego,
saling merugikan lainya. Bila pula mereka sudah tidak mau lagi tawajuh
marang sesembahan.
Sang Hyang Wenangpun kembali ke kahyangan Awang-Awang Kumitir dengan senyuman
tersungging di wajahnya yang putih bersih, tanpa suatu patah katapun
dilontarkan. Sang pralaya segera mengencangkan sayapnya yang bertaut erat di
puncak Mahameru. Sesekali diapun bergumam dalam hatinya. “Hai manusia di negeri
hujan, akupun akan menelanmu bila memang saatnya aku menjalankan tugas. Bila
pula para dewa di Suralaya sudah merasa gerah dengan budi candolo yang menjadi panutan kalian semua. Tiadakah diantara
engkau yang lebih memberi manfaat pada lainnya ?, agar aku mampu memejamkan
mataku di Mahameru ini.”
Angin Pasat, angin Kumbang, angin Gending ataupun angin Bahorok yang lahir dari kipas para bidadari terus saja
setia menyertai kehidupan di sela jajaran nyiur. Semai padi dan palawija saling
bertautan dengan panen tanaman itu. Demikian seterusnya dari masa ke masa.
Hujanpun masih setia mungusung kehidupan mereka, tidak ketinggalan pula
metamorfosis hidup dan suratan takdir diantara penghuni negeri, tiada pernah
terhalang oleh nafsu durjana mereka sendiri. Alam para dewapun menjadi damai
tentram.Dalam pakeliran agung
semua titah sawantah tiada
satupun yang bergeming. Tiada busur panah yang meregang, tiada satupun pedang
yang tak bersarung, tiada satupun tombak yang njati ngarang. Semua berbudi santun yang kondang kawentar hingga ke bioma gurun dan padang
rumput serta nunjauh di sana.
Sesaat tangan Sang Hyang Pramesthi Bathara Guru yang
menjinjing pusaka Trisula dan Jaludara lambang kekuasaan yang terlimpahkan kepada titah sawantah bergetar hebat,
Singasana Marcu Pundhamanik tempat
pemimpin dewa tersebut memimpin alam raya terasa memanas. Hal ini telah membuat
gusar para dewa, sehingga Bathara Bromo,
Endro, Kamajaya, Yamadipati, Surya, Indra, Bayu bergegas menghadap
pemimpin mereka Sang Hyang Pramesthi
Bathara Guru untuk meneliti
bencana besar yang melanda mercopodo.
Lantaran
hinggapnya penasaran yang mengganjal di dada Bathara Guru, maka diapun segera
membuka langit untuk mengamati sumber penyebab kegoncangan kahyangan. Sang
Bathara Guru menjadi bersungut sungut wajahnya, yang kini terlihat memucat. Dilihatnya Bathari
Durga dan Bathara Kala dari Kahyangan Gondomayit telah melepas
ikatan Sang Pralaya, untuk menyebarkan angkara murka di negeri hujan itu.
”Bathari
Durga dan Kala ! dan kau Pralaya, bukankah bukan tempatmu bermukim di negeri
hujan ini. Dan mengapa kalian bertiga menyebar angkara di negri hujan tempat
mandi bidadariku ?” ujar Sang Bathara Guru.
”Hai
kau Guru pemimpinku. Kau lihat kini negeri hujan berisi hanya petir, akibat
panasnya mercopodo dibakar oleh hawa nafsu para
titah sawantahnya, yang saling melempar kebencian satu dengan lainnya.
Tiada lagi tarian santun atau tegur sapa yang lembut, semuanya kini berhamburan
ke jalan dengan menghunus pedang. Pemimpin mereka hanya mampu mengumbar
kepuasan dia sendiri”
”Tapi
hentikan dulu ulah kalian semua”
”Aku
bertiga sudah tidak mampu lagi menundanya, sang pralayapun telah lepas
ikatanya”
”Bukankah
para pemimpin mereka telah menerima petuah Kakanda
Bathara Ismoyo ?”
”Kakanda
Ismoyo sudah tidak digubris lagi, lantaran mereka telah menjadi titah yang
angkuh”
”Tetap
aku akan ke Awang Awang Kumitir menghadap Romo Syang Hyang Wenang”
”Percuma
saja, kakaku !, Karena Sang Hyangpun takan mampu menolongnya. Karena ini telah
menjadi suratan takdir Gusti Ingkang
Makaryo Jagad, maka hanya dialah yang mampu memutuskan ”
Hening
suasana mercopodo saat itu, lantaran untuk sejenak Bathari Durga dan Kala
menangguhkan dulu misi mereka, mereka kini hanya melihat kilatan cahaya menuju
Awang awang Kumitir tempat bersemayamnya
Sang Hyang Wenang, yang kini terlihat duduk memagut di hadapan Bathara Ismayo
yang juga hanya menundukan kepala.
”Sabarlah
dulu, Manikmaya. Aku tahu
betapa gundahnya hatimu mendengar geger di negara hujan.Ketahuilah bukan hanya
engkau saja.Perhatikan bagaimana kau lihat sedihnya kakakmu Ismoyo, yang sangat
dalam penyesalannya mengenai marcopodo” Demikian petuah sang panutan para dewa
kepada Manikmaya. Dengan suara datar namun menyentuh Bathara Guru, hingga kedua
matanya kini mengucurkan air mata kesedihan
”Betul
dinda !. Sejak jaman Palasara
hingga Bambang Wisanggeni,
mereka sangat patuh dan mau mendengarkan nasehat-nasehatku.Tapi entah titah
mercopodo di negeri hujan. Mereka sama sekali tidak mau mendengarkanku lagi,
terutama para petingginya yang angkuh dan kaya raya. Negara hujan kini berganti
warna menjadi negara merah membara. Maka wajar saja banyak titah yang saling
bunuh, saling fitnah ,saling serang dan saling hasut atau mereka banyak yang
bunuh diri. Bahkan banyak diantara mereka yang tega membuang bayinya”, Sang
Ismoyo kini ikut berusaha menentramkan hati pemimpin para dewa itu.
”Akupun
kini sudah tidak mampu berbuat apapun. Ke empat pusakaku telah aku turunkan
agar mereka kembali menjadi negara santun, saling peduli, saling memberi
manfaat dan memberikan sebagian kekayaannya kepada yang miskin. Namun tetap
saja sekarang mereka senagnbebrbuat onar” Tutur Baathara Guru.
’Ya,
akupun memakluminya. Aku akan turunkan Ismoyo dalam wujud seribu bayang-bayang
yang mampu menyusup ke tengah hati mereka semua. Teutama untuk para pemimpinya.
Sehingga mereka menjadi sejuik hatinya kembali. Tidak ada lagi ontran ontran
yang menjadi sarapan kedua mereka”
”Akuipun memiliki satu permohonan, Romo Pukulun !”
”Sampaikanlah.
Ananda Manikmaya ?”
”Aku
mohon, turunkan segera satria piningit ke negeri hujan ?”
Sang
Hyang Wenagpun bangkit dari singasananya, di dekatinya putra kesayanganya yang
didamba menjadi penerus kepemimpinan para dewa. Dipegang erat kedua pundak
pujaan hatinya itu. Dengan senyum manis yang hinggap di wajahnya, panutan para
dewa itu berkata :
”Satria
piningit itu telah aku turunkan jauh jauh hari, yaitu kepatuhan mereka pada
darma kebajikan yang sudah diajarkan para nenek moyang mereka. Itulah
sebenarnya satria piningit. Anaku kini tugasmulah dan dibantu Ismoyo untuk
segera melahirkan satria piningit ”
Sang
dalangpun segera menutup pakeliran drama kehidupan,lantaran hari sudah beranjak
fajar. Sementara itu semua penonton telah berada di peraduan mereka
masing-masing. Panggung sketsa negeri hujan kinipun lengang.
Penulis :Bambang Sukmadji-Semarang
Catatan:
Archipelago : Gugusan pulau yang
dikeliling lautan
Bioma : Lingkungan biologi yang memliki
specifikasi tertentu
Mahameru : Puncak Gunug Semeru
Sendratari :
Pentas teatrikal yang disajikan dengan bentuk tarian
Kahyangan Suralaya Nama suatu tempat bersemayamnya para
dewa.
Pralaya : Keadaan
kacau yang melanda tempat tertentu.
Sang Hyang Wenang : Panutan para dewa yang bersemayam di
kahyangan
awang-awang kumitir
Tawajuh marang
sesembahan :
Merendahkan diri dihadapan Sang Pencipta.
Budi candolo : Sifat jahat umat
manusia
Pakeliran : Babak dalam pentas wayang
Njati ngarang :
Tombak yang berdiri dan dibawa kawanan prajurit. Sehingga
mirip dengan pohon jati yang berjejer rapat.
Kondang kawentar : terkenal di mana mana
Cupu Manik Astagina : Air kehidupan yang digenggam Bathara Guru.
Titah sawantah :
Manusia pada umumnya
Trisula dan Jaludara : Pusaka yang
dipegang oleh Bathara Guru
Singasana Marcu Pundhamanik :Singasana tempat duduk Bathara Guru dalam
memimpin dunia.
Bathari Durga dan Bathara Kala : Dewa pemimpin
para setan dan iblis yang
bersemayam di Kahyangan Gondomayit
mercopodo. : Dunia dan seisinya.
Bathara Ismoyo/Semar: Dewa yang diturunkan ke dunia untuk memberi
pencerahan
kepada pemimpin/petinggi
Gusti Ingkang Makaryo Jagad :Tuhan
Yang Maha Pencipta
Manikmaya. : Nama lain Bathara Guru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar