Bilai
bumi damai, Artic yang berwarna kelabu
Akan
memberikan sebagian Ozonya…untuk merias Glasier
di Antartika
Yang
menjerit pilu….kita tak kentara mengenalnya,
Dan
jangan kau lupakan perawan desa Archipelago
Yang
dalam kemasan bajunya, kau nyanyikan’Rayuan
Pulau Kelapa”
Bila
mereka bersatu dalam pusaran senyum yang ramah
Mungkin
akan ada kunjungan El Nino dengan
nampan bunga
Yang
berkain beludru, bukan dari bulu ulat
Dalam
keranjang rotan, berbingkai Khatulistiwa
Yang
dijinjing Ibu Pertiwi yang bermata sembab
Lantaran
terbengkelai sedari pagi, karena ditinggal…..
Anak
anak bungsunya bermain di padang ilalang
Lantas
seharusnya kau tundukan saja muka yang bergaris
Keriput
menghitam karena telah diterkam ganasnya
“wedus gembel” Merapi persembahan dari
bibir neraka
Biar
saja sang gagah Himalaya menabur benih kesucianya
di
atmosfer…hingga melintaslah kereta biru senja, untuk remaja
yang
kasmaran dalam kidung cinta bertaut halimun
yang dahaga
Atau
kala Toba mengenakan Ulos dengan titian pelangi
Agar
angin kembara membawa benih padi, jagung dan kedelai
Hingga
abang becak dan penjual es menjadi kenyang perutnya
Namun
baru saja Fukushima menggertakan
taringnya
Gaza bermandi mesiu
Merobek
kromosom yang ada di ketiak
Setiap
helai nafas di pinggiran melambainya daun nyiur
Atau
kita pekikan desah protes
Pada
laut yang menghitam, tak terdengar lagi Asmarandhana
Tuna,
lomba lomba atau jajanan pagi bagi camar
Kita
usung bumi dalam tangan kanan kita
Biarkan
tangan kiri menyelinap dalam pakaian kita
Yang
kumal tetapi masih menyimpan mawar dan kenanga
Lantas
kita pagut dengan sinar mata yang nanar….
Hentikan
dan basuhlah dengan air dari Telaga
Sarangan
Sehingga
anak cucu kita, masih mampu melihat
Menghijaunya
Sidoarjo, dengan kerlingan mata Lumpur Panas
Yang
lebih berprosa dan sajak tentang Serambi
Mekah
Bukit Barisan, Pegunungan Kidul,
Gunung Agung dan Tambora
Aku
hanya berlengan separo nafas
Dengan
legam di sana sini
Karena
keganasan hidup dan atmosfer
Tak
mampu menuai anyaman atmosfer
Yang
berisi pekarangan penuh ubi, singkong dan palawija
Yang
sering dilahat Genderuwo yang datang dengan pesta petir
Berkuku
durjana dengan sorot mata tajam seperti mata koruptor
Berpakaian
penuh warna, karena telah hilang hatinya
Jangan
kau pandangi dengan dada penuh kata Tanya
Tapi
semaikan kidung suci untuk Sang Penjaga
Langit
Semarang, April 8, 2011-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar