Senin, 19 November 2012

Pejuang Terakhir



Lelaki  tua itu telah redup sorot matanya,
mengais  angin sejuk,  menyisir  duka
di pinggiran jalan protokol beraspal kepongahan,
di sampinya meluruskan kaki,  berbaju compang camping
milik anak jaman                                 
seorang pengemis muda…
“aku dulu mampu membungkam  howitzer Anjing NICA”
seru laki laki tua itu, seraya menunggu kekaguman
pengemis muda mencibirkan bibir, membeku lidahnya

dengan mendengus nafas
pengemis muda menikamkan sebuah seloroh
“mengapa tak kau kenakan kerah baju jendral”
batu batuk kecil dan dalam menjawabnya
menyelipan kata, “usai sudah yang aku mampu…..
dadaku tak cukup bidang untuk menggayutkan
bintang jasa”

di pinggir jalan berumbai langit biru
adalah milik lelaki tua itu…yang mengungkung hatinya
tidak segentar membungkam “Water Mantel”
di genggaman “Gurkha”  yang perkasa
semakin perlahan dia menyusuri jalan itu
kini sepi, dalam keranda tak berkemas
merah hati namun berkibar di hatinya

dalam keranda dia membawa tanah Sang Ibu Pertiwi
untuk di semai di halaman langit

(Semarang, 3 November 2011).

Sebuah Epos Yang Hilang

Tidakah kau pernah tahu ?
mereka datang dari jauh hanya membawa bara
untuk  menghanguskan setiap lekuk tubuh
Sang Ibu Pertiwi, aku  menggenggam pilu
Aku  mengencangkan urat nadi
tidakah kau tahu  pula,  anak- anaku?
Kita hanya memiliki
rembulan dan matahari yang saling berkejaran
untuk menguningkan padi dan tanaman jagung
agar perut kita tak menghempaskan deru

Namun mengapa mereka
menjaring angin kembara dan mengaitkan
pada sisi “negeri santun berpantai nyiur”
kita tak akan melipatkan lengan
meski kita hanya  bertelanjang dada
namun degup jantung mampu merobohkan tebing
yang mereka kokohkan
sepanjang Bukit Barisan hingga Cendrawasih

Anaku,
bila kokok ayam jantan di tebing ufuk timur
pagi berhias mentari, burung berpantun ria
dengan bulu warna warni
berbicaralah pada hari hari yang membisu
tentang lengan lenganku yang menghilang
kala memburu mentarimu,  agar tetap terjaga

(Semarang, 4  November 2011).


Manifesto Untuk Hantu Berkerah Putih

Altar  yang kau lebarkan hingga menepi di batas Laut Kidul, gigimu menyeringai, nampaklah tangan kecil menggelepar meradang nyawa namun menepis nafas mereka sendiri. Sekawanan hantu terus saja membaca mantera, dengan jas hitam berkerah putih, hingga Nampak langit berpoles warna kebiruan namun masih berenda awan hitam           
Pohon perdupun menyimak, meski belukar mencibir, rumput tetap saja mengokohkan sepatu  laras untuk menunjam bumi, bila sang Pemeran Jaman terpelanting dalam jurang,
Namun berjuta raut, mempersembahkan protes terhadap “mantra sang hantu”
Yang hendak mengoyakan langit.

Dan  mengusung awan hitam, bertepi racun, onak bulu bambu.
Untuk mengusir nyamuk nyamuk bertulang iga rapuh di bawah gubug bambu,

Jangan kau hadapkan punggungmu, sang hantu !. Bila liuk puting beliung menghimpitmu,
Hingga melemparnu ke Puncak Tanguruhua atau Pinistubo,
Agar kau lebih akrab dengan tabir yang dulu kau pintal setebal belacu,
Kau boleh mengajak semua yang ada di kantong bajumu
Untuk menjadi teman kala kau tersudut di sudut tragedi

Apakah belum pernah kau dengar lagi,
Saat ibu ibu di desa membawa anaknya untuk melihat dunia
Mereka bersekolah di bangunan kardus, bersandar pada
keramahan angin gunung, untuk menyisir daun daun sayur yang tumbuh
Di sepanjang  kebun penuh harap, sedangkan atap sekolah mereka
selalu bergoyang ditiup angin ketidaktahuan

Atau kau lebih memilih
Bernyanyi simphoni riuh rendah yang mampu merobohkan warna pelangi
Kala hitam tidak sepantasnya bertaut dengan jingga,
Atau biar saja “wedus gembel”  menjadi merah membara
Menyodorkan sudut jantung yang berkawan sembilu
Kemudian menusuk tiap yang kita miliki            

 (Semarang, 4  November 2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar