Jumat, 16 November 2012

Manifesto untuk Hantu Kerah Putih



Altar  yang kau lebarkan hingga menepi di batas Laut Kidul, gigimu menyeringai, nampaklah tangan kecil menggelepar meradang nyawa namun menepis nafas mereka sendiri. Sekawanan hantu terus saja membaca mantera, dengan jas hitam berkerah putih, hingga Nampak langit berpoles warna kebiruan namun masih berenda awan hitam           

Pohon perdupun menyimak, meski belukar mencibir, rumput tetap saja mengokohkan sepatu
laras untuk menunjam bumi, bila sang Pemeran Jaman terpelanting dalam jurang,
Namun berjuta raut, mempersembahkan protes terhadap “mantra sang hantu”
Yang hendak mengoyakan langit.

Dan  mengusung awan hitam, bertepi racun, onak bulu bambu.
Untuk mengusir nyamuk nyamuk bertulang iga rapuh di bawah gubug bambu,
Jangan kau hadapkan punggungmu, sang hantu !. Bila liuk puting beliung menghimpitmu,
Hingga melemparnu ke Puncak Tanguruhua atau Pinistubo,
Agar kau lebih akrab dengan tabir yang dulu kau pintal setebal belacu,
Kau boleh mengajak semua yang ada di kantong bajumu
Untuk menjadi teman kala kau tersudut di sudut tragedi

Apakah belum pernah kau dengar lagi,
Saat ibu ibu di desa membawa anaknya untuk melihat dunia
Mereka bersekolah di bangunan kardus, bersandar pada
keramahan angin gunung, untuk menyisir daun daun sayur yang tumbuh
Di sepanjang kebun penuh harap, sedangkan atap sekolah mereka
selalu bergoyang ditiup angin ketidaktahuan

Atau kau lebih memilih
Bernyanyi simphoni riuh rendah yang mampu merobohkan warna pelangi
Kala hitam tidak sepantasnya bertaut dengan jingga,
Atau biar saja wedus gembel menjadi merah membara
Menyodorkan sudut jantung yang berkawan sembilu
Kemudian menusuk tiap yang kita miliki            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar