“Altar yang kau lebarkan hingga menepi di batas Laut
Kidul, gigimu menyeringai, nampaklah tangan kecil menggelepar meradang nyawa
namun menepis nafas mereka sendiri. Sekawanan hantu terus saja membaca mantera,
dengan jas hitam berkerah putih, hingga Nampak langit berpoles warna kebiruan
namun masih berenda awan hitam”
Pohon
perdupun menyimak, meski belukar mencibir, rumput tetap saja mengokohkan sepatu
laras
untuk menunjam bumi, bila sang Pemeran Jaman terpelanting dalam jurang,
Namun
berjuta raut, mempersembahkan protes terhadap “mantra sang hantu”
Yang
hendak mengoyakan langit.
Dan mengusung awan hitam, bertepi racun, onak
bulu bambu.
Untuk
mengusir nyamuk nyamuk bertulang iga rapuh di bawah gubug bambu,
Jangan
kau hadapkan punggungmu, sang hantu !. Bila liuk puting beliung menghimpitmu,
Hingga
melemparnu ke Puncak Tanguruhua atau Pinistubo,
Agar
kau lebih akrab dengan tabir yang dulu kau pintal setebal belacu,
Kau
boleh mengajak semua yang ada di kantong bajumu
Untuk
menjadi teman kala kau tersudut di sudut tragedi
Apakah
belum pernah kau dengar lagi,
Saat
ibu ibu di desa membawa anaknya untuk melihat dunia
Mereka
bersekolah di bangunan kardus, bersandar pada
keramahan
angin gunung, untuk menyisir daun daun sayur yang tumbuh
Di
sepanjang kebun penuh harap, sedangkan atap sekolah mereka
selalu
bergoyang ditiup angin ketidaktahuan
Atau
kau lebih memilih
Bernyanyi
simphoni riuh rendah yang mampu merobohkan warna pelangi
Kala
hitam tidak sepantasnya bertaut dengan jingga,
Atau
biar saja wedus gembel menjadi merah membara
Menyodorkan
sudut jantung yang berkawan sembilu
Kemudian menusuk tiap yang kita miliki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar