Padi yang
sudah menguning kini telah dibantai habis dengan arit tajamnya, langsung Pak
Guru segera merontokan dengan mesin perontok gabah seharian penuh, hingga
seluruh tubuhnya kini dibasahi peluh.
Karena kegiatan yang dia lakukan sehari hari itu, maka tak chayal lagi seluruh
kulit tubuhnya melegam diterkam sinar matahari. Namun semangat untuk memberi
pembelajaran kepada siswa siswanya di sekolah tidak kunjung reda, tanpa
sedikitpun ditepis penderitaan hidupnya, yang hanya memiliki selembar
pengharapan untuk masa depan anak dan istrinya.
Tergopoh
gopoh istrinya menyongsong sang guru tersebut di tengah terik matahari di
tengah sawah luas. Ditangan kiri istrinya yang kurus kering itu bergelantung
tas plastic berisi bakul nasi dan lauk serta jajanan, sedangkan tangan kananya
menjinjing ketel alumunium berisi air teh hangat. Dibelakang istrinya terlihat anak sulung mereka Bergas, yang ikut
mulai membantu bapak dan ibunya, yang belum mampu memberikan janji untuk
memberi biaya kuliah seusai dia lulus dari SMA, meski Bergas kini baru duduk di
kelas IX SMP.
Suaminya
segera menghentikan alat perontok gabah sederhana dan bersiap untuk istirahat,
demikian juga ke lima teman sekampungnya
yang membantu panenan pak guru, yang dianggap figure panutan bagi mereka bila
mereka menemukan segala sesuatu tentang kehidupan. Kini mereka semua duduk
melingkar , untuk bersiap melahap sebakul nasi dan lauk serba gorengan, dari
ikan asing hingga tempe goreng. Sementara Bergas sibuk membantu menuangkan
sayur asem pada baskom yang cukup besar.
“Inilah suatu kebagian tersendiri
lho, di tengah sawah yang panas, kita makan dengan sayur asem yang segar dan
ikan asin, hehehe, aku sudah sering merasakan makan di rumah makan besar di
kota besar, tapi nikmatnya tidak seperti di sini, ya kan bapak bapak !!! !”
seru Pak Guru Kamtijo pada ke lima tetangganya yang sudah seperti saudaranya
sendiri.
“Entah, Pak, orang aku belum pernah
ke rumah makan. Paling banter ke warteg di Semarang, heheheh..” Kang Dibyo
terus saja terkekeh, sehingga kelihatan gigi giginya yang hitam dimakan asap
rokok.
“Percuma Kang !, orang masakanya
juga tidak selezat yang dimasak istri kita di rumah “
“Tenan !, pak guru ?” Pade Saripan tidak percaya dengan apa yang
dikatakan pak guru.
“He..eh tenan De, aku sering
ditugaskan kantor ke Surabaya, Solo Jogja bahkan sampai Jakarta. Nggak ada yang
senikmat ini hehehe “
“Betul kata Pak Guru !, aku pernah
kerja di Jakarta 3 tahun sebelum aku ketemu Suminah. Aku merasakan kenikmatan
kalau makan di rumah bersama istri juga kalau aku di tengah sawah seperti ini.
Apalagi baru saja aku hidup sebagai petani bersama Suminah” seru Suripto sambil
menikmati rokok rintingan sesudah dia selesai makan.
“Jadi kalau sampeyan kembali lagi ke
Jakarta dan kerja disana, mau Ripto ?” Tanya Pak Guru Kamtijo.
“Jelas tidak mau, pak guru !. Aku
milih di sini saja, hidup tentram dan tenang “ jawab Suripto.
“Di Jakarta, nyari duit gampang lho
Ripto !, nggak seperti di sini, kita hanya mengandalkan panenan, untuk
dagangpun sulit karena desa kita terpencil. Maka banyak anak anak kita yang
hanya lulus SMP terus merantau ke Jakarta. Cucu sampeyan sudah beberapa tahun
di sama, Mbah Wakidi ?” Tanya Pak Guru Kamtijo kepada tetangganya yang
bersebelahan dan hampir 20 tahun bertetangga.
Sembari batuk batuk Mbah Wakidi yang
umurnya hampir 70 tahun menjawab dengan pandangan mata kosong, lantaran begitu
lama ditinggal cucu pertama dan kesayanganya.
“Ah..sudah lama mas guru !, aku
tidak ingat sudah berapa tahun, tapi aku bersyukur sekarang aku ditemani Hamzah
adiknya Ahmad. Dan kemanapun aklu pergi Hamzah ini selalu menemaniku “ Selembar
wajah tua renta Mbah Wakidi kembali berseri seri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar