Berkali kali Mahendra mendenguskan nafas panjang sambil mengkerutkan
alisnya dan terus mengganti beberapa kali chanel televisinya. Setelah yang dia dapatkan
hanya tayangan anarkis yang dilakukan pendemo dari beberapa kalangan. Lengkap
dengan penuturan reporternya tentang kerugian harta benda dan tak jarang korban
luka luka yang diakibatkan anarkisme itu. Tak urung juga tayangan tentang pertikaian
petinggi negeri ini, yang justru ikut mempengaruhi meradangnya rakyat yang telah
diliputi oleh berbagai macam kesulitan hidup. Kini ulahnya bertambah tidak
dapat dimengerti, kala mulutnya mulai mencaci maki entah di arahkan kemana,
setelah sebuah tayangan melaporkan tentang kenaikan harga untuk barang apa
saja.
Sementara istrinya sibuk di dapur menanak nasi dan menghangatkan sayur
asem dan ikan asin, sebuah menu yang menjadi kesukaan Mahendra dan anak
istrinya. Menu sehari hari mereka semua didapatkan hanya dari sayur sayur yang
dipetik dari kebun belakang rumah. Namun ikan asinya memang harus dibeli dari
pasar, itupun setelah Rakhmawati menjual beberapa telur ayam kampung. Terkadang
Mahendra sengaja menyembelih ayam kampungnya, agar anak anaknya tidak bosan
dengan menu sayur dari kebon belakang rumah.
Sang istrinyapun hanya tersenyum mendengar cacian suaminya tanpa
arah dan tujuan yang jelas. Terkadang pula suaminya bersikap sok piawai dalam
beberapa hal. Sehubungan dengan beberapa ulah anak bangsa yang ada ada saja, yang mampu menghangatkan
atmosfer Negara ini dan menampilkan sikap yang tak sepadan dengan budaya asli masyarakat yang melingkungi mereka.
“Huuuh..negara kita ini ibarat rumah tak jelas menghadap ke mana.
Mengapa banyak masyarakat dan oknum pejabat
yang gampang naik pitam “. Tanpa meminta persetujuan dan pedapat istrinya, berkali kali Mahendra melontarkan sebuah caci
maki. Sementara itu istrinya segera menyajikan makan malam mereka semua. Di
depan televise mereka bersama sama menikmati hidangan hangat dan sederhana, namun sama sekali tak pernah mereka keluhkan.
“Bisa bisa Negara kita hanya tinggal nama bila terus terusan
tercampak dengan berbagai tindak anarkis !”. Sambil melahap nasi hangat Mahendra
terus saja berceloteh mirip jurkam parpol di masa kampanye.
“Ya, biar saja, Pak. Asal kita pandai pandai menjaga sikap , jangan
seperti mereka “
“Ya, nggak gitu to, Wat. Mereka seenaknya membuat ulah, sehingga
membuat resah wong cilik seprti kita. Kalau sudah seperti ini banyak pedagang besar menaikan harga barang
barang. Coba yang rugi siapa?, mereka para pemimpin apakah merasakan seperti
ini ?”.
“Hmmm….memang repot kalau sudah seperti ini, Pak !. Tapi bagai kita
yang penting pandai pandai menyikapi saja !”.
“Sikap yang seperti apalagi, Wati ?”
“Paling tidak, kita harus tabah menjalani kehidupan ini, bersama kita menyekolahkan ketiga anak
kita hingga sampai perguruan tinggi. Meski kita hanya lulusan SMA dan keluarga
kecil yang hidup di desa. Namun anak anak kita jangan sampai seperti kita.
Tentang carut marutnya negeri ini kita sikapi dewasa saja, habis perkara !”
“Tambah pandai, kau Wati ?. Siapa yang mengajarimu ?”
“Siapa sih Pak yang mau mengajariku ?, Siapa pula yang mau perduli
dengan kehidupan orang desa seperti kita. Namun tekanan hidup dan ketabahan
kita bersamalah yang mencetak kita menjadi orang dewasa”.
“Kau ini terlalu idealis Wat, Kamu cuma memikirkan kepentingan diri
sendiri. Bila setiap masyarakat Indonesia
berpikiran seperti kamu, mana ada demokrasi?, mana ada pembaruan dan kapan kita
maju ?”.
“Kamu juga jangan ego, Pak !. Apa hanya laki laki yang boleh
berbicara masalah politik saja. Aku bicara seperti ini, karena sebagian besar
ibu ibu berpendapat sepertiku.Mereka tidak butuh partai !, mereka tidak butuh
ini dan itu! , mereka butuhnya hanya kedamaian”
“Kamu dengar dari mana ?”
“Pak, aku kan pedagang barang
kelontong di pasar, aku kenal banyak ibu ibu di sana. Juga saat aku hadir di arisan RT dan
dasa wisma ibu ibu PKK “
“Tapi memang kenyataanya demikian, bahwa negeri in telah bobrok,
bayak korupsi dan lain sebagainya dan ini kenyataan ?. Apa kamu mengerti ?. Apa
ibu ibu temenmu mengerti?”
“Ya ampun Mas, kalau cuma itu anak kecil saja mengerti. Tapi yang
penting kita menjadi keluarga yang tidak mudah patah dan menyerah bila keadaan
negeri kita sudah seperti ini”
“Itulah kesalahan kira semua, hanya mementingkan keluarganya masing
masing?’
“Mas, jangan kamu gampangkan peran masing masing keluarga. Bila
masyarakat kita disusun dari keluarga yang baik, tentu masyarakatnyaoun akan
baik jua”.
“Kamu memang sok pintar, Negara harus diusung oleh anak bangsanya
yang mau berkorban apa aja demi eksistensinya. Bukan diusung oleh anak
bangsanya yang hanya cuma memikirkan keluarga masing masing. Inilah hancurnya
Negara kita, karena merebaknya hedonisme, bermegah megahan, sehingga
nasionalisme menjadi hilang lenyap “. Entah setan mana yang merasuki jiwa laki
laki muda ini sehingga dia sekarang mirip anggota partai yang mempertaruhkan
segala yang dia miliki demi visi yang dibelanya. Mahendra segera menghentikan
makanya, meski nasi yang masih di piring makanya masih banyak tersisa. Mukanya
kini merah membara. Sedangkan ketiga anaknya sudah merajut mimpi mimpi indah di
tengah angin senja yang dingin dari Gunung Merapi.
Rachmawati istrinya kini hanya tersenyum, diapun tahu bahwa suaminya
kini sedang diterjang amarah yang konyol. Dan bagi Rachmawati sikap kekonyolan
suaminya itu bukan hal yang serius. Inilah cinta kasih yang menyatu dalam tiap
nadi kehidupan mereka, menyatu dengan dinding rumahnya yang masih centang
perontang, menyatu dengan atap rumahnya yang hanya tersusun dari asbes, menyatu
dengan kebun sayur dan buah serta bunga bunga di halaman depan mereka.
Tanpa ada sapaan dan seberkas senyum Mahendra segera berlalu dari
istrinya yang mulai sibuk membersihkan makanan mereka. Mahendra segera menuju
peraduanya di kamar tengah. Tidak seperti biasanya dia selalu menyaksikan
tayangan acara demi acara televise hingga larut. Apalagi belakangan ini dia
sangat setia menyaksikan kejadian pilu saudara saudara dari Kepulauan Mentawai
dan Gunung Merapi.
Rachmawati hanya diam membisu, meski hatinya sekarang tersenym geli
menyaksikan tingkah polah kekanak kanakan suaminya. Bagi dia sikap suaminya ini
hanyalah ego yang belum juga mau surut, meski mereka telah menyatu dalam segala
hal hampir 15 tahun lamanya. Dalam hal ini dialah wanita satu satunya yang mampu
menyurutkan ego yang konyol ini. Karena pada dasarnya mereka emiliki peraduan
yang suci tempat mengurai segala permasalahan, menyatukan silang pendapat
antara mereka serta merenanakan apa yang bakal mereka hadapi bersama esok pagi.
***
Pintu kamar tidur di bagian tengah mereka berderit, karena telah aus
engsel engselnya dimakan jaman. Rachmawati segera medampingi suaminya yang diam
seribu bahasa. Kala sang suami tercinta menolehkan wajah ke arahnya, seberkas
senyum wanita desa itu berhasil mencairkan hati Mahendara yang semula sekeras
batu karang. Mahendra segera menarik tubuh sang istrinya untuk mendekatkan tubuhnya, sementara wajah Rachmawati kinipun
terbenam di atas dada yang bidang itu. Dengan penuh kemesraan tangan Mahendra
tak hentinya mengusap rambut hitam pujaan hatinya itu.
“Tadi kiya ngapain, ya Pak ?” .Suara Rachmawati memecahkan sunyi
peraduan mereka.
“Ah…nggak tahu ?”
“Kamu marah sama aku, Pak ?”
“Ya, tadi. Sekarang sudah nggak lagi”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar