Lusuh
Dalam kungkungan langit biru,
aku suarakan, sebuah titian waktu, dalam bulan....dalam
hitungan akhir.....
hasrat untuk menuai “rumah bambu” di balik menjulang
tinggi Puncak Swargaloka...
dari sebuah “Bangsa Santun”, yang tergolek lemas
lantaran dipagut bisa-bisa taringnya sendiri
Nafas yang dikemas dalam tenggorokanya sendiri...
telah mengering, meranggaskan mentimun, labu
dan padi , di sawah yang bertebaran kebohongan
Mana akan kau semai palawija,untuk
anak cucu kita yang bernafas atmosfer “tak pasti”
yang melajukan deru- deru pertikaian
antara penghuni istana dan gedung berlantai marmer,
namun berdinding rajutan ilalang
yang bermata sembab,lantaran telah mengering
air mata mereka.
Makian panjang, sumpah serapah dan hujatan
senyaring serigala yang menyergap sesama
Telah menyesakan dada “Anak Krakatau”,hingga
melomjak dalam berang, menggetarkan peraduanya
Meradangkan banjir Padang, yang tadinya
bersolek ceria dalam bibir gincu Andalas.
Kita masih dalam kemasan menyatukan langkah
Dalam alunan perguliran waktu,
namun kita telah merasa usai
karena congkaknya perut-perut buncit, yang
berniat berlalu dengan sebelah mata
atau menikam “ulu hati”, jerami yang mengering
di pinggiran sawah ladang yang tergolek
rebah dimakan penzholiman jaman
Mari kita usung sebait puisi indah
Untuk anak cucukita yang bertelanjang dada (Semarang, 11 Nopember 2012)
Angin Kembara
Angin- angin kembara yang bermata juling
Telah memenuhi tepian Bumi Perkasa
yang berdiri kokoh di atas batu-batu pualam
menyebar diantara Selat Malaka dan Bumi Papua
Angin kembara kini menoleh ke tiap penjuru
negeri dan dusun, menyelorohkan dongeng tamak
berbau busuk, menebar duri
menghempaskan perilaku santun, hingga
anak- anak negeri melempar
kaca ke tiap jalanan
dengan tangan terkepal, dengan dandanan beringas
dan menjinjing parang, yang melengking nyaring
Angin kembara, yang bertuan dajal,
entah apa yang kau pinta dari kami
yang hanya mampu menahan lapar
lantaran hanya tahu sebuah sarapan pagi
dari sepotong ubi rebus dan ...
segelas kopi yang bergula aren (Semarang, 11 Nopember 2012)
Air Mata
Nanti juga akan sirna kanvas kelam
yang berlari menyusul angin badai
hingga menebarkan tikus-tikus busuk
yang merantaskan batang-batang padi
dan merobohkan gubug bambu milik pak tani
Nanti juga akan sirna, maka keringkanlah
air mata kita semua..air mata Ibu Pertiwi
usaplah dengan kain sutra, bersulam indahnya
negeri sorga, dengan bocah-bocah lucu
berhias pakaian warna warni
meski berseklah di gedung-gedung SD
yang hampir roboh, berornamen kepalsuan
Keringkanlah air mata kita,
Gantilah dengan semai semilir angin Muson
yang membawa butir hujan
untuk telaga hidup kita yang lembut
dan berpantai
keranjang harap (Semarang, 11
Nopember 2012)
Pantai Biru
Masihkah kita
saksikan
Kala pantai
berbuih putih,
Bertebaran
ubur-ubur yang jinak
Kitapun mampu
sejenak menghirup udara
yang berumah
di Pasifik dan Atlantik
Masihkah kita
mampu melabuhkan biduk
yang berlayar
centang-perentang, tentag buaian hidup...
jangan kita
menjadi tersipu malu,
meski pantai
negeri sebrang
lebih biru dan
masih berpagar nyiur
Jangan kita
urungkan biduk yang
telah
melaju,meski dengan sisi yang yang
merapuh....
Namun biduk ini adalah milik anak cucu
Yang mereka
usung dalam dongeng tidur mereka (Semarang,
11 Nopember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar