“Lagu Rayuan Pulau Kelapa” yang dibahanakan oleh RRI dan TVRI tiap
tengah malam, masih saja mampu membawa
ingatan kita tentang “Bangsa dan Negara Archipelago yang menawan ini“, yang dahulu beberapa dasawarsa masih mampu bernaung di erotisnya alam hijau, dari mulai Bukit Barisan hingga Pegunungan Roro
Anteng dan Joko Seger di Lereng Gunung
tempat Sang Brahma beristirahat melepas lelah.
Tanaman bakau tak ketinggalan pula
ikut meliukan pinggangnya kala daun
nyiur bercengkerama dengan angin pagi.
Datang dan pergi burung bangau dari sarangnya yang tersembunyi di sudut
desa hingga sawah sawah yang tergenang air hujan, untuk tumbuhnya padi.
Hutan, ngarai, sawah dan lading bergegas untuk memberikan senyum tawarnya pada manusia manusia yang murah
senyum, santun dan tak pernah saling melempar batu, bila terjadi silang
pendapat, Sementara sang ibupun dengan lemah gemulai meninabobokan oroknya
yang baru berumur beberapa bulan. Mereka
tidak mengenal membesarkan dan membelai anaknya di tempat sampah atau sungai. Entah
abad yang bagaimana bila sang ibunya tega melakukan itu.
Namun apa yang banyak diungkapkan
oleh syair dan fatwa para pujangga, telah mengering dan melekang disapu angin
jaman, kala datanglah jaman yag dinahkodai oleh Gayus dan para
pendukung,pembisik, pengusung kursi tahtanya serta para hulubalang yang buncit
perutnya, berpesta pora 41 hari 41 malam, memakan daging dari bahu, lengan,
paha masyarakat miskin penonton kereta revolusi. Sementara para oknum hulubalang
raja lainnya berpengarai mirip hantu penghisap darah yang mampu mengeringkan
sekujr tubuh korbanya, lantaran terhisap darahnya untuk peuas nafsu setan.
Nampaknya setan sudah menjadi kalah
wibawa dengan penghisap darah ini. Sehingga setanpun sudah tidak mampu lagi
merayu mereka. Sebab meskipun setan adalah mahluk hina, namun mereka masih
memiliki perikemanusiaan, yang berbeda jauh dengan manusia yang
berperikesetanan, dan oknum hulubalang raja seperti inilah yang berdiri dengan
wajah garang di balik jubah hitam dan berdiri di tengah pintu kereta
reformasi,seraya menyodorkan gelas gelas berisi air tuba bagi para penumpang
kereta . Sehingga wajar saja bila negeri Archipelago menjadi negeri yang
berkipas duri dalam debu, awan panas yang melelehkan kulit dan daging, wedus
gembel dari perut neraka, lumpur lumpur
lulur bidadari yang menusuk hidung dan menyesakan dada.
Semua penonton kereta itupun
menjadi kalang kabut, hingar bingar, berlarian mencari anak istri dan suaminya
yang menyelinap entah kemana, kala mereka menyaksikan bumi yang naik pitam
dengan ulah setan hitam pengisap darah ini.
Bumipun mengibaskan lenganya di
Waisor, Mentawai, Aceh, Jogja, Pantai Pangandaran, Padang dan yang terakhir
Merapi dan Bromo, yang meneteska air mata ilalang yang tak kokoh akarnya, tak
tegar batangnya dan telah mengering daunya lantaran terhembus angin kereta
reformasi yang tak kunjung berhenti.
Namun setan setan itu malah tertawa
terkekeh, hingga keluarlah belatung dari dalam lidahnya yang terus membahanakan
bau busuk menusuk hidung, menggeleparkan semua pesona negeri, lantaran sebagian
ilalang lebih memilih berdiam di negeri seberang meski mereka mendapat cacian,
hinaan dan aniaya dari sang empu negeri seberang tersebut.
Keretapun bertambah lambat jalanya
dengan goncangan goncangan yang mulai terasa dan entah hingga kapan akan
berhenti. Keretapun akan bersandar kelelahan bila sang hantu berniat mengasah
hitam kukunya dan menajamkan taring penghisap apa saja yang ada di sekitarnya.
Semen, aspal, baja, pupuk, mesin jahit apalagi sapi, adalah makanan sehari hari
yang tanpa basa basi langsung menenggak semua oplosan tersebut, tanpa
meninggalkan gejala penyakit apapun. Berlainan dengan anak anak kita yang mati konyol kala menenggak oplosan demi
menyematkan prestis meeka yang tak kunjung menggapainya.
Akankah lebih melegenda ke seluruh
egara Negara sebrang, yang beristana di tengah lautan pasir, kutub utara dan
selatan, ataukan puncak Mount Everest tentang Archipelago yang indah menawan
yang berganti baju sematan Negara Nasi Aking, Negara TKW teraniaya, Negara
Wedus Gembel atau bahkan Negara Oknum Petinggi Korup, denga menepiskan begitu
saja sematan keagungan bangsa ketika Ramang dan Rudi Hartono atau juga Ir.
Soekarno dan lainnya yang menjadi buah
bibir dunia.
Ilalang ilalang yang hidup di
kampung berdinding korban jaman, kini hanya mendenguskan nafas panjang, bila
mereka merasa telah hampa asa yang digenggam, lantaran separo nafas yang
dititipkan pada istana loji penguasa,
akhirnya hanya terhempas oleh angin hedonisme mentalitas setan dan hantu
berjubah hitam di Archipelago. Apalagi bagi ilalang yang berbedak pupur debu Merapi hanya
bersandar pada sorot mata yang kosong. Tembang si Piawai Lagu Sajak Ebiet G.
Ade tentang Untuk Kita Renungkan, Perjalanan dan lain lain, hanya untuk penghibur secangkir kopi manis di
senja hari. Bahkan mereka kini telah
melebarkan jubah hitamnya guna menapatkan kursi kekuasaan yang lebih tinggi.
Ilalang yang bukan luusan kampus
perlente saja telah tahu, bahwa kedamaian dan ketentraman negeri Archipelago
hanya mampu diraih bila kita tidak saling mengukuhkan ego, tapi kita saling
menjadi satu dalam cincin nasionalisme, apabila kita diusik oleh cincin api.
Keterpurukan hanya mampu dientaskan bila antara daun ilalang saling bertaut
antara satu dengan yang lain, bukan dengan jubah hitam sang hantu yang
digunakan untuk menutupi aib nasionalisme, aib kemanusiaan dan aib moralitas
lainnya. Hantu hantu enyahlah kau dari kereta reformasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar