Mari kita benahi
jalan desa,
meski masih
beralas tanah liat
Agar tidak licin
di tengah hujan setahun
Atau pula tidak
melekang di…
tengah kemarau
yang belum pernah…
kelihatan
bayangnya.
Cukuplah jalan
milik kita berpagar kembang sepatu
Bukan anggrek
aneka warna, atau bunga jaman
Yang berkelopak
hitam
Dan berputik “semu”
sang penjaja “erotis”..
Tanpa bahasa
hati tentang sawah lading
Mari kita usung
pula...tanpa ragu
Segenggam angin
sejuk dari buritan hidup
Agar kerah baju
kita berornamen moralitas
Bukan lagi emas
berlian yang menyelinap
Di perut kita
yang berisi “jubah jubah setan”
Atau dandanan
iblis penunggu “lembah nista”
Yang menjelma
dalam raut wajah santun
Adil dan bijak
dengan naungan ilalang
Berada di kedua
sayap dan dasi yang necis.
Kita di ujung
tahun, saudaraku…..
Jangan melangkah
dengan kedua kaki
Yang saling
mengutuk satu sama lain
Atau
memincingkan mata dengan cibiran
Hingga terasa
licin jalan tanah liat
Yang membentang dan
menyeruakan hidup
Di tengah desa
kita
Meski kita tak
hirau dengan bilangan tahun
Karena
dibisingkan dengan sapi yang melenguh
Dan kambing yang
beranak di tengah hari bolong
Sedangkan padi
kita telah tertunduk menguning,
Dengan daun
sayur yang memantulkan cahaya mentari
Namun kita juga
butuh terompet kertas
Untuk kita
jadikan batu pijakan
Tentang anak
kita yang tak kebagian
Kursi sekolah
dan bangku akademi atau universitas
Ataukah memang….
Kaki kaki kita
yang telah tersulam dari
Debu sawah atau
Lumpur ladang
(Semarang, 22
Desember 2012, Pondok Sastra HASTI Semarang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar