Senin, 19 November 2012

Prahara Negeriku



berharap sekali ini saja

semburat yang legam
menyesakan dada sempit , sekumpulan daun pandan
mengusung “angan binal” hendak meruntuhkan stambul besi
yang menari beriringan gendang parau
sekali lagi bau anyir
kepulan asap terus menghentak jaman,
bagai roda pedati yang gontai,
di alas santun negeri ini

teriakan  “Jangan Melukai Hati Rakyat”
membujur dan melintang tak tentu arah
pada wajah bumi, milik peran “panggung sandiwara”
pada episoda cinta yang hilang
terpagut raksasa seram,
yang muncul dari awan hitam
penghias langit. Namun langit berduri
menghantarkan jalan jalan kota
meradang dalam mata nanar

sementara perlente berkerah sutra
dalam gedung loji mewah berlantai belulang
tak gerah dan menusukan jauh-jauh,
kata kata samar, pada yang tertunduk menghujam bumi

si kecil yang menggayut sarapan pagi
segenggam nasi bisu, dengan lauk meracik pilu
tetap saja tak mampu berselingkuh
dengan hari,
berpagar rambut kuning mentari….(Semarang, 3 April 2012).

terlanjur beku

tak urung alis mata wajah negeri
ikut merenda centang perentang bibir gincu
tak peduli serpihan “bedak pupur”
menghitami atmosfer bertaut empat penjuru
yang sarat dengan susunan nada pongah
kita tidak semanis semilir angin pantai lagi
kala semua merapikan bait
pantun dan syair tentang tanah negeri
berpagar ratna mutumanikam dalam gendongan
dua musim

hanya karena teriakan nyaring
“Kenaikan Harga BBM”
yang menyedukan angin musim sekumpulan awan
bernada gusar, membekukan pelangi
lurus melintang sepanjang negeri perawan desa
yang saat senyum tawa seloroh
di sela hamparan padi menguning

kita terlanjur beku
dengan wajah terjerambab layaknya nenek sihir
terus memelentingkan guratan
permusuhan di luar dan dalam gedung loji
secawan teh hangat, bermanis gula tebu
seharusnya berjejer di tepi meja
kala kita duduk melingkar dalam tembang dolanan

kita dalam hingar bingar
suara hati tak tentu arah…..(Semarang, 3 April 2012).

anak negeri

akulah sang anak negeri
bersiul tembang dalam kerumunan kerbau sawah
tak kenal Valentin atau Happy Birthday
tak akrab  dengan lidah Humberger atau Hot Dog
aku hanya mengenal karib
handai taulan atau bunga
di taman halaman rumah
tempat aku membuka jendela
hingga ujung langit negeri “nyiur pantai”
sekali ni saja,
aku hembuskan nasehat emak di kampungku
agar kita rapi bertanam padi dan sayur…..(Semarang, 3 April 2012).

duka

hanya selembar, hinggap di sudut dada
tentang kita, dalam pelaminan prahara
metamorfosis tak berwajah jelas
terus tergambar dalam bingkai ombak
di Semenanjung Malaka hingga Laut Selatan

kita yang tercabik dalam haus dan lapar
dalam adonan sumbang dan serapah petinngi
terlempar jauh hingga ke batas langit
dengan kantong baju, menyimpan duka

kita masih dalam
terkaman nanar membara …..(Semarang, 3 April 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar