Sudah
berabad lamanya, nenek moyang kita....
mengikat
pagi,siang dan senja hari
dengan jagung, ketela rambat dan bayam
tak
ada duri tajam di sawah ladang mereka....
mereka
siram dengan air Anugerah dari
Yang
Kuasa.
Tiada
gemercik air kali yang membawa aroma
kemunafikan dan durjana,
sawah merekapun ditanami
“tanaman
kebajikan” hingga menumbuhkan semai
kebijakan.
Tiada
pernah ada makar, anarkis dan mesiu
Mari
kita menambatkan perahu di pantai mereka
meski
akan kita temui jalan dari tanah liat
yang
licin,
lembab namun bertepi wangi bunga
berpagar
bambu dengan anyaman yang rapi dan kokoh
dengan
“sang gula kelapa” melekat kuat di pilar
kayu
pintu depan rumah gubug mereka.
Kita
sapa punggawa, hulubalang serta para menteri
Yang
berjejer rapi di cakrawala mereka
Yang
berangin sepoi, bukan angin yang berdebu,
yang menderu memburu, halaman depan gedung loji
beratap kayu cendana dan bertembok tulang
belulang
dari
belukar , yang tumbuh di tengah padang
penuh batu
bergerigi.
Kita
sisipkan satu halaman buku catatan kita
Agar
terbaca bintang, halimun dan tepi langit
Sehingga
mereka berhasrat datang ke Bumi Nyiur di Pantai
Dengan
mengemudikan angin fajar.
Mari
kita benamkan, segala bara, hempasan prahara
Yang
datang dari sudut langit, yang kau penuhi dengan
iri dengki dendam dan hasut
tiadakah
pagi, tempat memainkan buluh kembang
tebu
untuk
dijadikan seruling.
Atau
kita hanya diam....
Sepi.
Semarang,
29 Oktober 2011.
Prosa untuk
Negeriku
Bila kita untai sepotong sajak dari guratan alam
yang terhampar
pada kubangan antara dua benua,
melajulah Pinisi, yang membuang sorot mata jauh
ke Selat Malaka,
yang berombak sejuk, penuh “susul menyusul”
lagu rakyat tentang pantai, lembah dan gunung.
Meski ‘Wedus Gembel” pernah menyalak keras,
Namun dia tetap mengokohkan
Tebing tebing yang memagari sawah ladang
Agar tetap betumbuh hijauan, yang tak pernah
melangkah surut ,
meski prosa ini
telah kehilangan birama tentang “untaian kasih”
Dari kumpulan kembang sepatu ,beluntas dan kayu manis
Mereka saling melilitkan akarnya agar kokoh berjejer
sepanjang relung waktu...memenuhi megahnya
hingga pujanggapun tak lagi mampu
menyusun prosa (Semarang,
29 Oktober 2011)
Aku tak Ingin Pulang
Aku belum mampu meninggalkan jejak kaki
Agar dipunguti anak
cucu
Yang memburu
belalang liar...
dan tidur di
ilalang yang mengering
Baru saja udara
yang pengap
Berselingkuh dengan
rongga dadaku,
Hingga penat
menyelinap seluruh sendiku
Karena aku berusaha
ingin tahu, tentang teriakan
panjang para anak
bangsa yang menyelipkan
segudang geram, mampu merobohkan
Anak Krakatau dan
Rinjani
Aku tak ingin
pulang
Sebelum bunga bunga
kering di tengah jalan
yang ditebar dengan
sebelah mata
menjadi bersemi
lagi
harum
mewangi...menghiasi puncak
Jaya Wijaya.
(Semarang, 29 Oktober 2011)
Dendam Rindu
Kekasih yang menyimpan rindu,
adalah dia yang memegang erat semua
yang singgah di bilik jantung
Sang putri yang menawan, bersenyum ceria yang
disemai “Caldera Gunung Bromo”,
menopangkan hidupnya dengan bergayut
pada sejarah yang ditoreh tinta emas
pejaka yang merindu
yang selalu berikrar menyatukan semua
kaldera,kawah belerang, fumarol dan
hiasan alam
yang bersama dipikaji dengan dendam rindu
Luruhkan dahulu dendam rindu
Agar mengatur nafas
Dan beristirahat di Bumi Nusantara
(Semarang, 29 Oktober 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar