“SOLAR FLARE”
Sajian hidup di panggung Milenium
yang semula
berpagar tirai dan kelambu para raja
beranyam kayu cendana dari Pasifik atau Antartika,
kini tersengal nafasnya,karena asap dan buih
kuning mentari yang berbinar,
melambung tinggi dari berandanya
kemudian tersenyum getir
di bilik bilik bumi, yang tergolek lesu
bergerigi,
Kita telah lupa menyemai Ozone
Kitapun lupa menyejukan hati bumi,
hingga kini memerah rona pipinya
mampukah mengelupaskan ego, tamak dan
nafsu serakah kita.
Setelah satu dua langkah kaki bumi
Bersyahwat dengan pohon jati, sawit
dan trembesi
lantas kita naungi dengan,
prahara angin kembara, meliukan gas
buang
di bahu sang naga, yang rebah di atmosfer
Sang Mentaripun bertepuk
dengan kedua tanganya
Dan berang, menahan senyum
sahajanya
Sambil menjulurkan lidah api,
Kitapun bermata nanar
Kemana kita kan pergi ?
(Semarang, 14 Nopember 2011).
Curah Hujan
Sudah berapa cemeti api
terusun di langit biru
untuk jembatan para dewa yang
hendak
bermesraan dengan bumi.
Kita jangan berkalang dengan tebing,
Yang enggan menyisakan waktunya untuk
bersarapan pagi dengan kita, segelas
teh hangat
sepotong ubi rebuspun kau tolak
hanya memburu kita yang tersudut
di bilik bambu kita masing-masing
Kitapun tak mau merebahkan badan
Pada,hempasan ombak bergulung
Menyisakan kepedihan, kala ikan tuna
Mengadu kesakitan di beranda rumah
kita
Mari kita mengadu pada Yang
di Atas sana. (Semarang, 14 Nopember 2011).
Tahun
Kelinci
Kita jangan meratap pilu
bila Samudra Hindia telah menyambangi
guna menguntai salam
perkenalan,
pada lengan lengan kecil yang
menyambutnya
bagaikan kelinci di mulut
buaya ganas,
sementara bulu bulunyapun tak
mampu
menepis, mega mendung bergayut
di ufuk timur
Biarlah kelinci kita merebah
di atas
jerami untuk membidik mimpi
mimpinya,
kita ganti dengan degup
semangat
agar kita lebih kentara lagi
mampu menawan hidup kita
sendiri
di singasana ufuk timur
(Semarang, 14 Nopember 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar