Beberapa batang rokok telah habis dihisapnya, entah mengapa batang
rokok yang dihisapnya sekarang masih
saja kuat melekat di jarinya. Tubuhnya masih saja rebah di kursi kayu jati yang
renta membujur di ruang tamu yang kumuh.
Meski sinar mentari telah menghiasi wajah pagi yang kuning menyala, lantaran
tersapu kemarau yang menerjang kotanya. Namun dia masih belum beranjak untuk
memunguti kehidupanya yang tercecer di roda jaman. Padahal semburat sinar
kuning mentari beberapa diantaranya telah menerobos celah dinding bambu yang
berlubang, Sementara itu truk pengangkut pasir terus lalu lalang di depan
rumahnya
Asap rokoknya masih saja mengepul menutupi wajahnya yang terlihat
galau., segalau dunia yang masih saja liar menerima kehidupanya. Entah
kehidupan macam apa yang pernah dia jalani, namun tetap saja hanya peluh dan
debu yang menebari di sekujur tubuhnya. Gambaran hidup yang dia rengkuh, tak
ubahnya seperti gambaran asap rokok, yang tidak pernah memilih gambaran yang
pasti. Selalu saja berubah dihempas angin kemarau Gunung Merapi.
Sebentar sebentar terdengar lengkingan batuk panjang istrinya yang
telah mongering tubuhnya, lantaran penyakit menahun yang tak kunjung sembuh. Penghasilan dia yang
pas-pasan hanya cukup untuk makan dan biaya sekolah ke tiga anaknya. Sumitropun
hanya mendenguskan nafas panjang, saat dia mengadukan kepada sanubarinya
sendiri tentang kehidupannya. Cuaca yang terus menerus dibarengi hujan meski di
tengah kemarau, membuatnya tidak berdaya untuk menambang pasir di Kali Krasak.
Musim yang tiada menyodorkan kepastian, menyodorkan pula kehidupanya yang kian
terhimpit.
“Tiada satupun manusia yang mampu mengatur cuaca, Mas !”
nyaring suara Hartini menyeruak
memecahkan lamunan Sumitro yang masih menggantung tentang rencananya ke Malaysia
menmgadu nasib.
“Makanya, Tin, aku sudah bosan menjadi penambang pasir
yang tiada pernah memberi harapan. Aku tetap ingin kita mengambil resiko,
daripada seumur hidup hanya merajut
hidup yang nestapa”.Sumitro kini menjadi lebih bergairah untuk mencoba
menantang sebuah kehidupan yang menurut dia adalah suatu misteri yang tiada
pernah mampu dipecahkan.
“Mas, kita mengarungi kehidupan ini hanya dengan
keberanian, tanpa modal apapun, itu juga sudah penuh resiko. Lantas resiko apa
lagi yang kamu inginkan”
“Mestinya kita harus lebih berani lagi mengambil resiko,
sudah kepalang tanggung kita mengarungi hidup yang penuh gelombang besar.
Sementara itu kitapun tidak pernah merasa aman untuk berlabuh di kehidupan yang
penuh bahagia. Kamu tidak menginginkan itu ?”.
Hartini hanya menghiaskan wajahnya dengan senyuman tipisnya, sebuah
senyuman yang menjadi awal sebuah hati
yang kekar milik Sumitro berhasil roboh dan mendekam dalam pelukan
wanita yang santun ini. Hartini kini lebih mendekatkan duduknya di samping
suamnya sambil mengaduksedikit gula dalam kopi pahit kesukaan suaminya.
“Wanita mana yang tidak ingin bahagia bersanding denga
harta yang cukup, kehidupan yang tentram. Tapi coba Mas renungkan, kehidupan
yang kita miliki sudah cukup bila kita tahu persis diri kita masing-masing,
Kita sudah dikarunia tiga putra dan mereka sehat dan pandai. Kita sudah memiliki
rumah meski hanya gubug beratap seng berdiding bambu .Mas, apa yang kurang dari
kita ?”.
“Aku heran, Tin ?”
“Heran tentang, apa Mas ?”.
“Biasanya yang berkata seperti itu, adalah suami ketika
istrinya merajuk menuntut dunia untuk
menghiasi hidupnya., Tapi malah kamu yang bertutur seperti itu. Bagi aku
kehidupan seperti ini belum puas, aku ingin kelihatan kamu lebih cantik dengan
dandanan yang lebih baik, lantas aku pengin juga menyekolahkan anaku ke kota, agar mereka
mengenyam universitas, jangan seperti bapaknya yang hanya sampai kelas 2 SMP”
“Bukan hanya kamu, Mas !, akupun ingin seperti itu ?”
“Lantas mengapa kamu tidak setuju aku ke Malaysia
?”
“ Kalau itu membuat kita lebih bahagia, kenapa tidak Mas
?”
“ Kalau gitu, kamu setuju?”
“Ya, setuju, Mas ?”
“Terus akan kamu lepas kapan tanah itu, mumpung Pak Ranto berani membelinya !”
“Itulah yang aku tidak setuju, Mas. Tanah itu satu
satunya peninggalan orang tuaku. Lagian Mas Hartono juga masih punya hak ,
bukan aku saja”
“Ah..itu gampang, Tin. Kalau aku sudah di
Malaysia, kan bisa aku ganti Mas
Har dengan gajiku kerja di sana”
“Maaf, Mas, aku tidak setuju,memang Mas Hartono tidak
pernah menuntut hak itu. Tapi dia tidak setuju kalau tanah itu dijual.
“Tertus apa artinya tanah itu untuk kehidupan kita, Tin
?”
“Mas Har minta supaya tanah itu dikelola untuk usaha
atau untuk ditanami apa saja, dia tidak akan menuntut hak.Tapi dia tidak akan
melepas tanah itu untuk dijual”
“Kamu memang istriku yang tidak mengerti cita-cita
seorang suami.”
“Mas Sumitro,apa ke Malaysia menjanjikan segalanya ?.
Tetap saja manusia tidak lepas dari KodratNYA. Aku takut Mas, keberangkatan Mas
ke Malaysia
justru nambah kesengsaraan kita, Apalagi dengan menjual tanah kita
satu-satunya”
“Terus aku harus bagaimana, apa salah bila aku berhasil
membahagiaan keluargaku, termasuk kamu, Hartini !. Aku berani bersumpah, aku
tidak akan jatuh ke pelukan wanita lain, kamu sudah hapal, persis wataku..kan ?”
“Bukan masalah itu,..Mas ?”
“Masalah apalagi?”
“Kita manfaatkan saja tanah itu. Selama ini kita kan belum pernah bicara
masalah ini”
“Aduuuuh, setengah mati kan Tin.Mau ditanami apa ?.Musim seperti ini
tidak bakalan bisa diharapkan”
“Mas, aku diberitahu Mas Koco, temenmu di Kali Krasak”
“Ada
apa ?
“Dia sanggup menyediakan bibit ikan lele, dia punya
relasi di Magelang. Tentu kita bisa beli, orang harganya murah. Kebetulan tanah
kita bisa diairi sepanjang tahun, cocok untuk beternak lele”
“Terus mau di juual kemana lele-lele itu”
“Hualah..Mas. Setiap rumah makan pasti menyediakan menu
lele kan Mas
?”
“Ah, itu terlalu beresiko, aku nggak punya modal”
‘Kebetulan Mas, aku
bisa menyisihkan modal meski hanya sedikit. Tapi untuk menggali tanah
itu,harus pakai tenagamu sendiri lhoMas,bisa kan Mas “
Belum sempat Sumitro memberi jawaban, sebuah pelukan kecil dan
ciuman mesra telah disodorkan istri tercintanya. Dilekatkanya bibir istrinya
dengan bibir pria yang sedang diliputi kegalauan. Kini pelukan itu telah
direnggangkan oleh Hartini, diganti dengan bisikan penuh pesona
“Tolong ya Mas, kali ini aku dibantu, aku pengin lebih
bahagia bersamamu”
Sumitropun tak mampu lagi memberi jawaban, yang
ada hanya membalas dengan ciuman yang lebih hangat dan mesra, sambil membisikan
di telinga istrinya “Kamulah rembulan di atap rumah bambu ini. Aku berjanji
tidak akan ke Malaysia
demi kamu “.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar