Kamis, 27 Desember 2012
Rabu, 26 Desember 2012
Biduk yang Rapuh
“Aku sudah menunggu lama dalam penantianku ini. Semoga Tuhan yang Kuasa masih berkenan memberikan secercah Kemurahan, agar aku dan Mas Burhan bisa dipertemukan lagi” bisikan hatinya tiada henti terselip di jauh relung hatinya, bisikan yang kadang terlontar di mulutnya, menjadi doa tiada henti, kala Ningrum bersimpuh menengadahkan tanganya demi sebuah harapan yang menggayutinya selama bertahun tahun. Namun sang waktu adalah sesuatu yang hanya mampu merangkak tanpa satupun kata hati, terus saja melaju berpadu dengan putaran bumi menebas relung kehidupan manusia.
Demikian juga kehidupan Ningrum, seorang wanita desa, yang hanya mengerti bahasa musim demi semi padi dan palawija yang direntangkan di atas sawah dan ladangnya yang tiada seberapa luasnya. Sedangkan Burhan suaminya hanya supir angkutan desa pengangkut sayur hasil panen sayuran milik tetangga sedusunya. Itupun hanya bisa dilakukan suaminya saat musim hujan tiba. Apabila kemarau menikam dusunya, semua sawah dan ladang merontang, maka mobil pick- up milik juraganya itu hanya terbujur di rumah juragan Winata, yang telah lama mempercayakan Burhan sebagai supir pick- up pocokanya.
Apa yang bisa diharapkan dari sepasang suami muda petani yang hidup di desa yang hanya mengandalkan perguliran musim, sedangkan kebutuhan hidup mereka dan 2 anaknya tidak mengenal musim. Kebutuan untuk sekolah, makan dan lainya tidak mengenal kerontangnya sawah dan ladang. Menyandarkan susu perahanpun hasilnya tidak seberapa, bahkan terkadang harganya anjlok, sedangkan beberapa kambing milik suaminya sudah lama sekali dijual untuk menyambung hidup mereka. Tidak lama kemudian beberapa ekor sapi perahanyapun ikut dilipat demi sesuap nasi.
Meski sekali sekali suaminya mencoba menanam sayuran di ladang peninggalan orang tuanya, namun tetap saja hasilnya tidak seberapa, lantaran pupuk dan obat anti hama harganya tidak menentu, bahkan sering kali melambung naik. Tetapi harga sayuran tidak pernah melambung naik. Itupun dianggap Burhan sebagai berkah daripada sayuranya tidak terjual dan membusuk. Burhan hanya bisa menggerutu tentang nasibnya yang hanya dipermainkan musim, dipermainkan oleh tanah yang menghitam karena ulah petani sendiri, bahkan tidak tanggung tangung rakusnya ulat, belalang, jamur atau wereng yang menerjang tanaman sayurannya ikut serta mempermainkan bilah hidupnya.
Burhan kini terselip di tengah kebimbangan yang menghimpitnya. Burhan merasakan kebahagian yang menjadi hak hidup dirinya, apabila berada di tengah Ningrum dan kedua anaknya yang lagi imut imutnya. Tetapi tanah tempat lahirnya kini bagi dirinya sudah tidak mampu lagi menopang hidupnya. Mobil milik Juragan Winatapun sudah dipocokan kepada keponakanya sendiri yang juga sering menganggur seperti dirinya. Kini hanya tinggal ladang miliknya seluas seperempat hektar yang terbujur ditumbuhi ilalang dan belukar. Ladang yang terbujur dilereng bukit tetapi dibiarkarkan terbengkelai itu, sudah lama diimpikan Burhan untuk digadaikan ke Juragan Winata dan uang hasil gadai diharapkan Burhan mampu digunakan untuk merantau keJakarta, guna menundukan roda nasib yang masih menggilas dirinya dan keluarganya. Meski dia harus meninggalkan Ningrum dan kedua anaknya.
Ningrum sama sekali tidak setuju dengan angan suaminya, karena mereka sejak lahir sudah membentangkan hidup bersama di desa lereng Gunung Merapi yang masih mampu menyodorkan sebuah harapan bagi lengan lengan kecil mereka berdua yang tidak seberapakokohnya. Tanah yang mereka harapkan dapat mampu menumbuhkan tanaman pnghidupan sebenarnya masih cukup demi kehidupan mereka yang sederhana dan bersahaja, bukan untuk hidup yang diangankan Burhan,yang mulai tidak sabar dalam mengais nasib yang sudah tergambar dalam buku takdir. Apalagi dengan menggadaikan kebun peninggalan orang tua Burhan yang kini telah menghadap yang Kuasa.
***
“ Aku tidak setuju mas !,bila kamu menggadaikan tanah kita “ berkali kali sepotong kalimat itu memenuhi tiap ruangan bilik setengah papan beratap seng rumah mereka.Namun Burhan tidak pernah memasang kedua telinganya demi sebuah permintaan isrinya yang keluar jauh dari lubuk hatinya.
“Mengapa kita tidak mendaftar transmigrasi saja mas !, kan tidak perlu menggadaikan tanah kebun kita !” Sebuah permintaan Ningrum yang kerap pula diajukan pada suaminya.
“Aku tidak mau lagi berurusan dengan tanah dan cangkul !, aku hanya menemukan kegagalan dan kegagalan dengan tanaman dan kebun !, aku sedikit banyaknya mengerti mesin mobil yang dapat untuk bekal membuka bengkel di Jakarta. Aku akan mencoba menjadi sopir angkot atau sopir apa saja, sambil mencari tempat untuk membuka bengkel dengan modal uang gadai tanah kita “. Pekik Burhan semakin membangunkan rasa was was di hati istrinya, yang lebih mampu menggunakan nalarnya ketimbang Burhan, yang memiliki tabiat mudah larut dengan anganya sendiri. Meski kegagalan demi kegagalan sering ia dapatkan, namun tak sedikitpun kegetiran hatinya mampu mendewasakanya.
Sedangkan Ningrum telah hafal betul dengan tabiat suaminya yang kerap melangkah gegabah tanpa pertimbangan yang masak.Ningrumpun tahu persisi bahwa suaminya hanya terbuai cerita manis teman teman sekampungnya yang dinilainya sudah berhasil. Padaha menurut Ningrum, kehidupan mereka berdua di desa tidak kalah menjanjikan ketimbang mereka yang merantau ke Jakarta, asalkan mereka berdua mampu bersabar, hemat dan tabah menghadapi semua tabiat musim. Rupanya hal itu sama sekali tidak digubris oleh suaminya. Padahal untuk mengusung kehidupan di desa mereka yang tidak banyak menyelipkan persaingan yang tajam dan ganas, Burhan sudah tidak mampu sabar dan tabah, apalagi untuk mengais kehidupan di Jakarta yang penuh tantangan.liar, ganas dan tidak segan segan manusia memakan manusia lainnya.
Apabila Ningrum yang tak surut mencoba memberi gambaran tentang rencana Burhan untuk meninggalkan kehidupan di desa mereka, sepasang sorot mata yang ganas nanar dari suaminya selalu Ningrum jumpai. Ningrum hanya menjumpai angan suaminya layaknya seorang bocah yang meratapi sebuah mainan yang ingin dimilikinya. Padahal meski Ningrum berusia jauh di bawah Burhan, tetapi sebenarnya permintaan Ningrum jauh lebih realistis ketimbang Burhan.
Ningrum kini hanya mampu diam membisu dan membiarkan suaminya menggadaikan kebunnya dengan harga yang murah. Meski demikian dalam lubuk hati wanita desa yang hanya berijasah SMP itu, masih terselip suatu harapan semoga saja tanah simpanan hidup mereka berdua tidak ikut menjadi korban angan gelap mata suaminya dengan menjual kepada sang juragan dan tuan tanah di desanya. Kekhawatiran Ningrum pada masalah ini bukan tanpa alasan, karena tanah mereka telah dijadikan harapan terakhirnya bagi Burhan untuk menyambung hidup mereka bila di Jakarta kelak dia menemukan kegagalan.
Beruntung Burhan memiliki istri Ningrum yang sudah sejak lahir didera penderitaan hidup, sehingga apapun cobaan yang dijumpai mereka berdua sebagai keluarga yang belum kuat berpilar tak membuat ciut nyalinya Ningrum. Kasih dan cintanya kepada suami dan kedua anaknya tidak sedikitpun surut. Meski angan dan cita citanya untuk memiliki sebuah keluarga yang cukup terhempas kandas diterkam nasib yang belum menentu, bagaikan biduk kayu yang rapuh harus berjuang mengayuh hidup di tengah samudra dengan layar yang koyak. Biduk itupun kini bertambah tak berarah setelah Burhan tetap mematangkan niatnya untuk menundukan Jakarta, yang menurut Ningrum sama seperti menggapai kehidupan yang pengap bagaikan keranjang sampah yang busuk dan menjijikan.
***
Apa yang dibayangkan Ningrum beberapa tahun silam kini telah menjadi realita.Jangankan kepindahan dia dan dua anaknya ke Jakarta untukmeyelipkan sebuah kebahagiaan yang disodorkan Burhan,selembar suratpun belum pernah dia dapatkan setelah 3 tahun terakhir. Pada awalnya Burhan memang kerap pulang dengan wajah yang kumal dan kusut, suatu isarat bahwa kehidupanya di Jakarta belumlah sesuai dengan apa yang diimpikan Burhan. Berkali kali pula Ningrum memintanya dia kembali saja ke desa mereka, tanpa terbuai impian tentang Jakarta, meski harus menjual tanah mereka ke Juragan Winata. Namun Burhan tetap bersikeras untuk kembali menggapai anganya di Jakarta.
Ningrum tahu persis bahwa suaminya di Jakarta 3 tahun belakangan ini sudah tak memiliki apa apa lagi. Hanya linangan air matanya yang menetes setiap malam setelah kedua anaknya tertidur yang menjadi saksi doanya semoga suaminya tidak tidur di kolong jembatan.Ningrum masih yakin betul, bahwa suaminya masih menyintai dia dan kedua anaknya, hanya saja suaminya mungkin malu untuk menunjukan pada dirinya akan kehidupanya yang compang camping di Jakarta. Ningrumpun masih memiliki angan untuk segera menjual tanah suaminya bila dia kembali ke desanya untuk modal berjualan apa saja demi membahagiakan suami dan anak anaknya, dia kini telah siap untuk membanting tulang seperti yang pernah dilakukan saat dia masih hidup bersama dengan emak dan bapaknya, yang hidup hanya menyandarkan kedua bahunya. Namun hal rencana itu hanya menemui ruang hampa, lantaran sudah beberapa tahun ini kabar tentang suaminya belum juga dia dapatnya.
Perasaan rindu mendalam dan rasa khawatir kini berkecamuk dalam dadanya, apalagi bila mendengar rintihan kedua bocahnya yang menanyakan tentang bapaknya, yang pernah menjanjikan membelikan mereka mainan dan baju baru. Rintihan mereka dan tangis yang berkecamuk dalam rongga dada Ningrum hanya mampu tanaman kunir, sayuran dan kolonjono di halaman rumah mereka yang diam membisu.
Bulan Desember kini hadir di tengah berada di sekeliling keluarga yang merana itu. Semilir angin penghujan mulai menggigit tulang tulang mereka. Kabut musim hujan selalu menyelimuti bilik sederhana kamar tidurnya. Dinginya malam itu semakin menyayat hati Ningrum yang menerbangkan anganya pada Burhan yang mugkin saja sedang tidur di kolong jembatan atau di tepi jalanan atau mungkin saja tidur di pelukan wanita lain.”Oh tidak, tidak mungkin Mas Burhan seperti itu, tidak mungkin Mas Burhan menjual cinta murahnya” bisik hatinya sering memenuhi jantung hatinya bila malam tiba.
Ningrum segera menuju ruang depan yang beralas semen yang sudah banyak mengelupas, setelah mendengar pintu ruang depan diketuk berkali kali oleh seseorang.
“Oh Pak Surip, ada apa malam malam membangunkanku ?”.
“Oh maaf Ningrum !,aku terpaksa membangunkan kamu, karena aku harus mengantarkan Burhan yang tadi entah mengapa roboh di serambi balai desa “
“Mas Burhan !” Ningrum berteriak setelah melihat suaminya yang kurus kering dengan wajah pucat dan selembar pakaian yang compang camping.
Dipapahnya tubuh kurus kering yang lunglai untuk direbahkan di kursi kayu lusuh di ruang depan. Pipi Ningrum kini dibasahi air mata yang tidak mampu dibendungnya,meski kegetiran hidup wanita desa ini telah menggayuti seluruh hidupnya.
“Mengapa,Mas Burhan !”
“Maaf ya Ning !,aku beberapa tahun tidak mengabarimu,karena aku tidur di gerbong kereta ,aku tak memiliki apa apa lagi, aku malu untuk pulang dalam keadaan begini, hingga aku sakit dan terpaksa ikut truk dari Jakarta ke Boyolali. Ningrum , maafkan aku ya !”. Dipeluknya tubuh suaminya yang menggigil kedinginan, tanpa sepotong katapun untuk menjawab permintaan maaf suaminya. Karena jauh sebelum kepulangan suaminya Ningrum telah memaafkan semuanya. Dalam hati Ningrum tetap terselip penghidupan baru yang siap dia usung demi membahagiakan suami dan kedua anaknya. Layar yang terpasang di biduk yang kecil kini mulai kokoh menjulang ke atas siap mencumbu angin laut kemanapun arahnya***
Jumat, 14 Desember 2012
Salam untuk Negeriku
“Merdeka !!! “, pekik itu sayup menyelinap di padang berlantai duri
lenyap dipinang hiasan jaman dengan pemanis warna warni,
setiap ranum bunga, dahan dan daun melekang kering diterkam
angin prahara dari jaman yang runtuh.
hanya menyisakan dada dada kosong anak jaman berias wajah mengerikan
menerpa tanah hunian sang mutumanikam,
laksana gempita tsunami dari Tambora dan Krakatau
lantang menghardik semilir sejuk angin sorga membawa sari hidup
damai mengusung detik esok hari penuh ceria.
tiada lagi sosok penyejuk jaman menjinjing epos pahlawan
tiada lagi tangan tangan sejuk terbentang bergayut di bahu yang kokoh,
layar perahu telah terkembang menampilkan mozaik tangis dan pilu
saat daun pandan di halaman archipelago negeriku layu berkoyak kepalsuan
dijerat syahwat iblis iblis jaman di siang hari bolong.
kita harus mengadu pada siapa ?
nyanyi rindu pada bunga bunga bangsa harum wewangi sepanjang
tanah lapang tempat berkejaran anak anak kita mengejar pipit dan
kenari. Dalam seloroh di tanah nyaman tak berujung gerigi tajam.
ak ada lagi mesiu tempat mengungkap kata hati yang sumbang
muram durja kita, disambut gempita sorak iblis,
bersemayam di benak anak anak kita di tepi puing jaman.E
masihkah kita hirau ?
jangan hiraukan sihir tajam dari iblis bermata juling
(Semarang, 10 Desember 2012)
1. Pesan Emaku
mengapa kita tak pandai ?
menyimpan petuah dan cerita emak,
tentang wajah monster jaman menghadang
hingga berulang kali emaku mengerutkan kening
sorot matanya jauh menembus dinding jantungku
emak !, memang sulit untuk memebenahi
anakmu yang meregang dicumbu “reformasi” yang dikais
dari puing negeri yang tercabik tangis pilu
tak ada lagi rajutan kain biru darimu, untuk medinginkan
gemertak tulang iga
namun emak tak akan lagi harus basah
keriput dan legam pipimu, tak akan lagi haru
yang meregangkan semua urat nadimu,
tak kan ada lagi riuh gempita rumput kering
meraih basah gerimis diusung angin pasat
emak, pelankan deru nafasmu!,
telah pulih dan membiru atmosfer negeri tempat mandi bidadari
hingga emak masih mampu merapikan semi padi dan sayur.
(Semarang, 12 Desember 2012)
2. Anak Ubi dan Sang Iblis
dengarkan kawan !
kita anak ubi, dalam muram durja
kita masih mampu menghitung arah angin
agar berselingkuh dengan gersang sawah ladang
anak ubi tak pernah terpingit dalam keluh
pengap debu debu jalan yang kini ganas,
lantaran kini saudaraku telah lantang berbicara
dengan bahasa debu dan deru wajah yang menghitam
angin prahara manakah yang meminangnya ?,
anak ubi !, janganlah lenyap dalam ikatan kata mesra !
janganlah kau sembunyikan dirimu di kolong langit
saat semua iblis bangkit dari galian kuburnya
saat mereka mencabik semua warna pelangi
dada kita haruslah membara untuk menghempas sihir sihir
dari lipatan jubah jubah hitam sang iblis
dalam relung waktu ke depan terbentang lurus
menyibak jendela langit, mendung kita terjang
prahara kita kemas dalam keranjang kasih, tangan mengepal
kita sambut dengan seloroh anak ubu yang manis ceria
sang iblis tertawan di sudut negeri ini
hingga damai kita padu dengan pagi ceria.
(Semarang, 12 Desember 2012)
3. Cakrawala di Sisi Timur
cakrawala senja kini tak sedikitpu bergeming
kita tak akan mampu membalik pusaran bumi
kita diam dalam sudut kamar, menggapai benang putih
namun daun daun pandan di halaman rumah kita
tetap kita semai dengan percikan embun dini hari
sisi timur sang cakawala kita gambar
dengan raut wajah cemerlang
biarkan tumbuh pohon jati untuk pilar rumah
ana cucu kita....
kita tak segontai langkah anjing anjing liar
yang ganas demi sekerat daging mengoyak hari
kita tak seganas harimau bertatap mata nanar
dengan cengkeraman kuku yang tiada daya
sehingga kita tejerambab dalam kepongahan
dan syak wasangka..
tapi kita segagah burung elang merentang sayap
untuk mengintip hari hari yang diusung sang waktu
di cakrawala timur kita hinggap
(Semarang, 12 Desember 2012)
4. Benang Putih
di tiap nafas, adalah ikatan benang putih
di tiap gemeretak geraham kita, Dia akan menyejuk
saat sang waktu menebas, kita dalam sorot MataNYA
dalam benang putih kita terbang menjinjing harap
kita sepadan dalam menata negeri pongah ini
di tepi langit, kita adukan semua keluh dan kesah
(Semarang, 12 Desember 2012)
Langganan:
Postingan (Atom)