Jumat, 30 November 2012
Dunia Tak Memilih Aku
malam ini aku duduk termangu..
manusia yang berkerah baju tulus
berkawan awan..
Sabtu, 24 November 2012
Aku Putra Bangsa
anjing
NICA mampu bertekuk lutut, terbungkam howitzer
dan
cocor merah yang melipat sayapnya, terbang menyelinap di awan
mengadu
kepada tabir langit, tentang gemetar tubuhnya...
ditelikung
bambu runcing rona merona
persetan
dengan oknum petinggi berbaju perlente, bergaris eksotis
mengaburkan
pandang “Si Kecil “ mengais hari,
berselingkuh nasib
di
rumah kardus dengan nasi basi mengganjal perutnya
tanpa
upeti dermawan yang menjinjing peduli dan tangan halus
meski
legam tenggorokanya tertusuk panasnya nasib
bukan
hangus lantaran uang korupsi
persetan
dengan itu semua,
aku
putra tanah ini, aku menepis jauh jauh apa yang meluruhkan
sayap
sayapku yang mungil
tanpa
korupsi, akupun tegak membidik hari hariku
pergilah
jauh para koruptor dan penerima upeti
biarkan
kau terhempas atmosfer bernafas berang...hingga kau
hinggap
di tepian kubangan hitam kelam
jangan
kau menyanyikan lagi lagu rindu membiru
yang
menggeleparkan tiap nafas si kecil, berbaju kusam
biarkan
aku memberikanmu kado persetan bercampur ludahku...
agar
kau tertunduk malu dan menyunting hari harimu
di
jeruji besi, atau terbanglah ke sisi yang damai
bersama
para bidadari penghuni tanah yang nyaman
agar
kau tak lagi berkata dusta, karena telah terpotong ludahmu
sendiri......
pernahkah
kau sejenak menyusun prosa...?
berisi
bait tentang pengemis dan abang becak yang beroda aus
lantaran
menggigit jalan jalan kota berlobang yang kau
sayat
dengan durjanamu yang kelam dan sumbang...
atau
pengemis terkapar di bawah baliho di sudut kota
memeluk
perutnya sendiri, yang kosong
perut
yang menerbangkan protes jaman , tentang uang negara
yang
kau sajikan dalam adonan gula gula hedonisme
aku
isaratkan pada tanaman perdu, beluntas dan palma
di
halaman rumah bambuku, disaksikan melati
dan kenanga
tentang
dengus nafasku sendiri yang tak
berujung,
tentang
ini semua, tentang saudara saudaraku yang mengepalkan tangan
untuk
sebuah ketidakmengertian,
untuk
sebuah gegap gempita yang membuat
terjaganya
anak anak kita sendiri dari tidur siangnya...
lantaran
aroma mesiu persis kembang api
di
malam tahun baru, serta desingan batu batu jalanan
yang
kau terbangkan dengan gelora di hati
gemetar tubuhmu sendiri
mentari
masih bangkit dari Bumi Papua
hingga
terbenam di Serambi Aceh
melewati
Pegunungan Kidul yang membelah Pulau Jawa...
Negeri
Archipelago tak harus melinangkan air mata
tak
harus renggang bergandeng tangan saat penganten baru
duduk
di singasana berornamen kembang setaman ***Semarang, November 2012
Lembayung Sutra
tak pernah kita berhasrat menepisnya
atau
melonggarkan tautan lembayung sutra jingga
bersulam
benang emas milik negeri hujan dan gerimis
di
sini kita membasuh wajah menjadi putih cemerlang
berhadapan
dengan cakrawala, bersemayam Yang Kuasa
saat
ini kita menjadi kusam bergaris kepiluan
tentang
petinggi negeri yang bermuka manis
mengayuh
perahu berisi emas berlian merobek buih putih
yang
hanya bersimbah duka nestapa menuju arah angin
entah
ke sisi pantai mana mereka melabuhkan perahu kokoh
kita
hanya tersumbat dengan jalan panjang
berkerikil
lantaran
mereka telah tumpul mata hatinya...
kita
dalam erat bergandeng menggapai hari hari indah..
menyisir
pagi dengan rambut sutra, mengusung ubi dan
gula
jawa, demi perut kita yang tak lagi berdinding kerontang
kita
sambut angin musim yang menerbangkan semi hidup
dari
lembah dan bukit yang berjajar sepanjang mutumanikam
bukan
dengan saling halang membenturkan bahu kita*** Semarang,
November 2012
Tak
Lagi Ku Terbang Menggapai Fatamorgana
Setiap
sudut kota ini menghardiku kuat kuat
dalam
seloroh hidup berkemas manusia manusia laknat
menjulurkan
lidah demi hidup,
berkereta dengan delapan ekor kuda putih
berbaju
dari kain rajutan benang emas, merampas
hutan
dan bukit dengan kerlingan mata tajam
menjual
sumpah janji yang tersimpan di dadanya
terbang
ke langit menggambar fatamorgana
biarkan
aku kokoh menggenggam apa yang harus
aku
dapatkan dari cucuran peluh dan rapatnya sauh
hingga
biduku tak lagi menerjang angan
menuju
fatamorgana bersekongkol dengan kaki langit
aku
dalam damai.
Semarang, November 2012
Kamis, 22 November 2012
Sihir Tomcat
SENJA sudah mulai menggelapi rumah
sederhana, yang berlantai semen dan berdinding setengah bata. Atap rumah
sederhana yang terbuat dari genteng merah sederhana itu, masih menyimpan hangat
terkaman sinar matahari yang seharian penuh tadi mengakrabinya. Angin pancaroba
yang seharian menerbangkan debu debu dari arah bentangan
sawah di sebelah mulai lelah, berganti dengan langkahnya yang semilir.
Sehingga semua daun pisang di halaman belakang, hanya mampu tertunduk lesu.
Seperti biasa tiap senja menyelinap
pekarangan rumahnya, Sukoco mulai memutar-mutar lampu neon lusuh 10 Watt
di halaman depan agar mampu menyala. Meski sinarnya sudah mulai surut, namun lampu
neonya mampu menerangi jalan tanah yang ada di depan rumahnya. Sehingga lubang
lubang jalan yang dilindas roda pedati kini dapat terlihat jelas. Terdengar
batuk batuk kecil Sukoco menyelinap dinantara kelengangan desanya yang sedang
dirundung sebuah kegetiran. Batuknya semakin melengking saat , semilir angin senja mulai membalut tubuh
Sukoco yang kurus kering itu. Namun lelaki yang menghabiskan seluruh hidupnya
di sawah ladang itu, lebih memilih menghangatkan tubuhnya dengan menutup rapat
rapat dengan sarungnya yang kumal.
Sukoco segera beranjak dari duduknya, setelah
beberapa serangga tomcat beterbangan dan hinggap di dinding beranda rumahnya, segera dia berkelit kesana
kemari, mirip Pendekar Rajawali dalam serial silat mandarin “Return of The
Condor Hero” yang mahir memainkan pedangnya. Sarungnya yang tadinya membungkus
tubuhnya kini berganti digunakan untuk menyambar setiap tomcat yang terbang di
seputar tubuhnya. Rupanya tomcat itu kembali menyatroni rumah papanya dan kini
nampaknya semakin bertambah banyak jumlahnya. Rasa kesal Sukoco kembali mengisi
seluruh hatinya seperti malam malam sebelumnya. Padahal kemarin malam sudah
cukup banyak serangga itu bergelimpangan di lantai semen setiap penjuru
rumahnya, setelah dia semprot dengan
obat serangga sisa dari musim tanam
kemarin.
Namun kawanan tomcat itu tidak menggubrisnya, seakan akan
mereka tahu bahwa Sukoco dan
teman-temanya yang mengusik ketentraman hidup mereka, petani desa itulah yang
membunuh wereng yang menjadi santapan mereka setiap hari, ditambah dengan bau
obat serangga yang merambah setiap
jengkal sawah mereka, yang telah membuat mereka mual perutnya dan memeningkan
kepalanya. Bahkan tidak sedikit teman
mereka yang tersungkur menghembuskan nafas.
“Tomcat sialan, ayo maju rasakan sarungku !!!’.
Setelah beberapa puluh tomcat bergelimpangan, Sukoco segera kembali siaga
dengan kuda-kudanya mirip pendekar
sakti yang menantang musuhnya. Mendengar
teriakan Sukoco yang memecahkan keheningan senja di tengah perkampungan petani
yang dibelit kesusahan hidup. Beberapa
tetangganya segera merangsek mendekati
Sukoco, yang kini mengerahkan semua jurus silatnya dari mulai aliran mandarin
hingga jurus Betawi untuk mengalahkan tomcat.
“Pak !, jangan seperti orang gila !, malu
dilihat tetangga !!” teriak istrinya yang mengambil langkah seribu keluar rumah
setelah mendengar kegaduhan yang dibuat suaminya.
“Biar saja !, biar semua tomcat ini mampus
!, aku sudah semprot dengan oabt serangga, tetapi mereka tidak mati !” Sukoco
sudah menepikan akal sehatnya, memang dia telah kesal dengan tomcat-tomcat
durjana yang nekad menyebar di rumahnya dan sebagian menyerang gabah yang baru
saja dipanenya.
“Tapi jangan seperti orang gila !”.
Lengkingan Ponirah membentur dinding bambu rumah tetangganya yang berjajar di
jalan tanah berlapis batu kali yang berhamburan di atasnya.
“Yang gila aku apa tomcat, Pon ?” teriakan
Sukoco dibarengi kedua matanya yang melotot pada Ponirah istrinya.
“Kalau yang gila tomcatnya!, apa kita akan
menirunya ?” kembali Ponirah mengajukan protes keras.
“Iya!, kalau perlu !, lihat tuh Pon!. Semua
tetangga kita sekarang jadi edan memburu tomcat sialan ini. Jelas ini kemarahan
sang penunggu sawah-sawah kita. Sehingga tomcat ini menjadi berani dengan kita
“ Kedua kaki Sukoco kini berhenti berjingkrakan yang tadinya mirip Jacko yang
asyik menyanyikan lagu “Black and White”. Kini sarungnya dikalungkan ke
lehernya, mulutnya mulai berkomat kamit menghujamkan mantra sakti pada kawanan
tomcat yang kini masih beterbangan kesana kemari di dalam dan pekarangan rumah
papan Sukoco.
“Pak, kamu tambah memalukan. Ingat Pak !,
tetangga kita mulai berdatangan menontonmu, Pak ingat,Pak !!!!!”.
“Edan kamu !, tomcat itu tidak sembarangan
hewan, tidak seperti biasanya mereka berani dengan kita. Mesti ini karena sihir
penunggu sawah kita. Sekarang diam kamu !”
Kerumunan tetangga Sukoco bertambah rapat,
beberapa diantaranya juga ikut berkomat
kamit mulutnya, wajah wajah mereka tengadah
ke langit hitam. Mereka kini semua berniat mengajukan protes pada siluman siluman
di langit sana yang menggembalakan tomcat yang liar dan ganas. Terlebih lebih
Sukoco yang merasa menjadi pusat perhatian tetangganya menjadi semakin liar dan
tak tahu malu. Seluruh tubuhnya kini mengginggil, dan dari mulutnya terdengar
suara melengking.
“Hei, sang penunggu Desa Gondang Manis!, Hentikan kemarahanmu !, bawa
pulang kembali tomcat kamu semua !“ seru Sukoco.
“Sukoco !!!!”, panggil Langgeng Budarjo yang
memecahkan konsentrasi Sukoco yang berdiri di tengah kerumunan lengkap dengan
pasang aksi yang berhasil menghipnotis tetangganya yang meyakini kekonyolan
Sukoco. Laki laki kurus kering itu segera menghentikan mulutnya yang
komat-kamit, dan segera menyapu sorot mata tajam pada lelaki tua beruban yang
kini berdiri di depanya.
“Ada apa, paman !”
“Kamu sudah edan !” bentak Langgeng Budarjo
yang seusia ayah Sukoco.
“Jangan usil dengan niat saya, paman !, ini
demi ketentraman desa kita. Lihat paman !, banyak tetangga tetanggaku yang ikut
mengusir tomcat dengan caraku !”
“Anak edan !, sampai satu bulanpun kamu
berjingkrakan seperti itu tidak akan berhasil mengusir tomcat “
“Maksud paman, bagaimana ?”
“Mereka seperti kita, apabila rumah dan
makanan mereka telah terusikpun mereka akan mecari rumah lainnya “
“Tapi mereka telah menggigit tetangga kita
?”
“Mereka tewas ?”
“Tidak ?”
“Berapa tomcat yang kau bunuh ?” bentakan
Langgeng Budarjo kian menggema memecah pekatnya malam.
“Sudah
banyak, paman !” jawab Sukoco jujur.
“Itu perlakuan tidak adil namanya !” seru
Langgeng.
“Merekakan hanya serangga !!!! “ Sukoco mulai tersudut dengan
“Mengapa kamu komat kamit dan berteirak
teriak menggegerkan kampung, kalau mereka hanya binatang ?”
“Paman !, mereka semua pasti dikerahkan
kekuatan gaib yang marah kepada kita. Mereka sepertinya telah bertindak diluar
wajar “
“Apa mereka mampu mendengar permintaanmu ?”
“Aku minta kepada sang penunggu desa kita ,
yang mengerahkan tomcat itu ?”
“Sukoco !, tomcat bukan saja menyerang desa
kita. Tapi sudah menyerang ke wilayah lainya di negara kita. Apa sang penunngu
itu menyebarkan tomcatnya ke seluruh
wilayah negara kita. Pakailah nalar, Sukoco. Aku juga warga desa sini yang
tidak mengenyam pendidikan tinggi, tapi aku pakai nalar “
“Paman, seperti juga ulat bulu tahun
kemarin, mereka juga menyerang desa kita !” sahut Sukoco.
“Mengapa tidak kau pintakan pada sang
penunggu desa ini, akhirnya mereka hilang sendiri kan ?”
“Apa salah saya berdoa kalau kita kena
musibah ?” tanya Sukoco.
“Kalau berdoa dilarang, jelas menyalahi
ajaran leluhur kita. Tapi berdoalah kepada Tuhan Yang Kuasa bukan dengan cara
seperti orang kesurupan ?” jawab Langgeng dengan penuh bijaksana. Kini
terlihatlah sorot mata Sukoco yang sudah tak seliar tadi.
“Baiklah , paman !. Terserah apa maunya paman “
“Baiklah Sukoco !, dan semua saudara
saudaraku. Serangan Tomcat seperti ini tidak akan bis dihentikan dengan cara
apapun. Yang pertama mereka sudah kehilangan banyak wereng yang menjadi makanan
mereka, karena obat serangga. Disamping itu juga musim di wilayah kita sudah
rusak, sehingga kehidupan merekapun sudah diluar kewajaran
alam. Mereka akan hilang sendiri jika musim
kembali normal. Kalian semua jangan tersihir tomcat tomcat ini. Mereka tidak
akan menggigit kita, mereka juga bukan hewan berbisa. Jadi tutuplah semua pintu
dan jendela rumah kita kalau malam tiba. Matikan lampu sebelah dalam, biarka
lampu diluar rumah menyala. Ini bukan kemarahan sang penunggu desa ini “
Kerumunan warga desa itu menjadi bubar,
masing masing warga berjalan dengan muka tetunduk. Terlebih lebih Sukoco yang
tanpa pamit meninggalkan kerumunan itu dan mengunci pintunya rapat-rapat.
Tinggalah Langgeng Budarjo yang termangu di tengah pekarangan rumah Sukoco
terpagut dinginya udara malam desa Gondang Manis yang masih hijau lestari.
Dalam hatinya kini terselip rasa syukur yang dalam, karena saudara saudaranya
tidak terjerumus dalam kepercayaan yang sesat***
Langganan:
Postingan (Atom)